Ketika Talqin Mayit Kembali diperdebatkan
Sudah banyak kitab dan buku yang menjelaskan tentang keabsahan dan bahkan
kesunahan talqin mayit yang disertai dengan beberapa rujukan dan pengambilan
dasar hukumnya. Tetapi masih saja dipandang sebelah mata oleh kelompok-kelompok
yang segaja mempersempit ruang gerak ubudiyyah dalam agamanya sendiri (baca “agama
Islam”), sengaja menyebarkan fitnah dikalangan warga Ahlussunnah waljamaah
dengan tuduhan-tuduhan bid’ah dan syirik, sehingga membuat bingung orang-orang
awam dan mengaburkan ajaran-ajaran Islam yang hakiki.
Padahal talqin mayit sudah ada sejak zaman Rasulullah saw dan di amalkan
oleh para sahabat kemudian diteruskan oleh tabiin dan ulama-ulama salafus
sholih. Imam Nawawi (Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syarof Annawawi) dalam
kitabnya Al-adzkar Almuntakhobah min Kalami Sayyidil Abror saw, mengatakan,
Bahwa talqinul mayyit ba’dad Dafni oleh mayoritas ulama’ Syafiiyyah
dihukumi istihbab (sunnah). Diantara mereka adalah, Qodli Husain didalam
Ta’liq-nya, Abu Sa’ad Almutawalli didalam kitab Titimmah-nya, Assyaikh Al-imam
Azzahid Abul Fath Nashr bin Ibrahim bin Nashr Almuqoddasi, Imam Abul Qosim
Arrafi’i dan lain-lain, diantaranya Imam Abu Amr bin Sholah dan ulama-ulama’
Syafi’iyyah dari Khurosyan.
Dalam kitab Mughnil Muhtaj disebutkan, bahwa talqinul mayyit ba’dad
Dafni bagi mayit dewasa, menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal
hukumnya sunah. Orang yang membaca talqin duduk di arah kepala kuburan
mayit, kemudian berkata, “Ya Abdallah bin Amatillah, Ingatlah apa yang
engkau biasakan sebelum engkau keluar dari dunia, Kesaksian bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Nabi Muhammad utusan Allah, sesungguhnya
surga itu nyata,neraka juga nyata, kebangkitan dari kubur itupun nyata, dan
sesungguhnya hari kiamat pasti datang tanpa diragukan lagi, dan sesungguhnya
Allah akan membangkitkan orang-orang dari kubur, dan sesungguhnya engkau ridlo
Allah sebagai tuhanmu, Islam adalah agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, Qur’an
adalah penuntunmu, Ka’bah sebagai kiblatmu dan orang-orang yang beriman adalah
saudaramu”. (HR. Thabrani).
Menurut Imam Nawawi, walaupun hadits ini dlo’if, tetapi ditopang atau
dikuatkan oleh beberapa hadits lain yang shohih dan firman Allah, “Dan
berilah peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi
orang-orang yang beriman”. (QS. Adzdzariyat 55).
Selanjutnya dapat dilihat lagi didalam kitab Al-adzkar karangan Imam
Nawawi, “Kami telah meriwayatkan hadits dalam Shohih Muslim dari Amr bin
‘Ash, Ia berkata “Jika aku telah dikuburkan maka berdirilah kalian semua
disekeliling kuburku selama (dengan kadar) kambing disembelih, dikuliti dan
dibagi-bagikan dagingnya. Agar aku terhibur dengan kalian dan aku ketahui apa
yang harus aku jawabkan kepada malaikat yang menjadi utusan tuhanku”.
Dalam kitab Nailul Author disebutkan, “Diriwayatkan dari Rosyid bin
Saad, Dlomrah bin Habib dan Hakim bin Umair, mereka berkata, Apabila tanah
kuburan mayit telah diratakan lalu orang-orang telah pergi, mereka menganggap
sunah apabila dikatakan kepada mayit disisi kuburnya; Ya fulan, katakan! Tidak
ada tuhan selain Allah (tiga kali), Ya fulan, Tuhanku Allah, agamaku Islam dan
Nabiku Muhammad saw. (HR. Sa’id).
Terlepas dari bahwa hadits-hadits tersebut perawinya shohih, hasan
lighoirihi atau tidak, karena jelas ada perbedaan pandangan diantara para
ulama, atau kalau memang hadits-hadist tersebut dlo’if, bukankah hadits dlo’if
masih bisa digunakan untuk fadloilul a’mal. Dengan dasar inilah Imam
Syafi’i menganggap talqin mayit sebagai perbuatan sunah yang memiliki dampak
baik bagi yang masih hidup sebagai mauidzoh dan pengingat bagi mereka agar
berbekal dan menyiapkan diri dalam menghadapi kematian, juga mempunyai maslahat
bagi yang mati sebagai pengingat-ingat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang
akan disodorkan oleh malaikat Munkar dan Nakir. Urusan si mayit nantinya bisa
menjawab atau tidak semua itu tergantung dengan kehendak Allah swt. Waallohu
a’lam.
Post a Comment