Tarikat dan Pesantren Mengawal Eksistensi Islam Nusantara
Oleh: K Ng H Agus Sunyoto*)
Semenjak kekuatan
kolonial Eropa menginjakkan kaki ke wilayah Nusantara pada awal abad ke- 16
hingga pertengahan abad ke-20, hubungan
antara penduduk pribumi muslim yang berbasis di pesantren dengan bangsa Eropa
(Portugis-Belanda-Inggris) dapat dikata
nyaris tidak terjembatani. Sejarah mencatat bagaimana raja-raja muslim
yang didukung guru tarikat dan ulama dari pesantren menyerang kedudukan bangsa
Portugis, Belanda dan Inggris yang datang dari Eropa untuk melakukan penjajahan
di Nusantara, dan di tingkat desa, guru
tarikat dan ulama dari pesantren bersama masyarakat sekitar tidak pernah
berhenti melakukan perlawanan terhadap para penjajah yang mereka sebut ‘kafir'.
Sejarah mencatat, Adipati Unus penguasa Demak kedua, misal,
dengan dukungan ulama Wali Songo generasi kedua
telah menyerang bandar Malaka pada
tahun 1511 Masehi, tidak sampai setahun setelah bandar itu dikuasai
Portugis; Fadhilah Khan atau Fatahillah,
menantu Sunan Gunung Jati, memimpin
pasukan gabungan Demak dan Cirebon, menyerang dan menghancurkan armada Portugis yang dipimpin Francisco de Sa
di Sunda Kalapa pada 1522; Sultan
Ba'abullah menyerang benteng Portugis di Ternate dan menghalau Portugis dari
Ternate pada 1575; Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa Mataram
menyerang VOC di Batavia pada 1626 dan 1629; Sultan Ageng Tirtayasa didukung
Syekh Yusuf Makassari mengangkat senjata melawan VOC yang mencampuri urusan
suksesi Kesultanan Banten pada 1656-1658; Sultan Hasanuddin raja Gowa
mengangkat senjata melawan VOC pada 1660-1665; Trunojoyo yang didukung
ulama asal Kajoran, Panembahan Rama, dan juga Panembahan Giri, melakukan
perlawanan terhadap Amangkurat II yang didukung VOC pada 1670-1674; meletus
perang besar rakyat Banten yang dipimpin Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa melawan
VOC pada 1750-1753; rakyat Madiun yang dipimpin
Raden Ronggo Prawirodirdjo memberontak melawan Belanda pada 1809-1810;
perlawanan Pattimura terhadap VOC di Saparua pada 1817; Pangeran Diponegoro
yang didukung ulama dari berbagai pesantren dan penganut tarikat menyulut
perlawanan rakyat Jawa terhadap Belanda pada 1825-1830; para ulama Padri dan
penghulu adat yang melawan kolonial
Belanda dalam Padri Oorlogen di Sumatera
Barat 1821-1837; perlawanan penduduk Banjar yang dipimpin Pangeran Antasari
didukung para ulama Kalimantan Selatan melawan Belanda pada 1859-1860;
perlawanan rakyat Aceh terhadap
Belanda pada 1873-1903; perlawanan para petani yang dipimpin guru-guru tarikat dalam
pemberontakan Banten pada 1888; dan
sederetan perlawanan dalam skala yang lebih kecil terhadap "kafir"
Belanda yang sambung-menyambung dari waktu ke waktu sampai kekuasaan Belanda
berakhir tahun 1942, hampir selalu
ditandai keterlibatan Guru Tarikat dan ulama dari pesantren sebagaimana
tercatat dalam Coloniaal Archive 1800-1942.
Sejarah mencatat bahwa
selama abad ke-19 hingga awal abad ke-20 - terutama pasca Perang Diponegoro
1830 -- berbagai tempat di Hindia Belanda terutama di daerah pedesaan terus-menerus
diguncang perlawanan, kerusuhan,
kegaduhan, keberandalan, yang mengguncangkan masyarakat dan pemerintah
kolonial. Boleh dikata hampir setiap tahun di salah satu daerah terjadi
pergolakan dan kerusuhan yang sering diwujudkan sebagai tindakan-tindakan yang
bersifat agresif dan radikal, sehingga pergolakan itu bisa disebut
endemis sifatnya. Sikap rakyat dalam mengambil bagian dalam gerakan-gerakan
yang sangat radikal itu karena digerakkan oleh harapan-harapan yang ditimbulkan
oleh ajaran-ajaran mesianistis atau milenaristis dan juga pandangan-pandangan
eskatologi yang bersifat revolusioner. E de Wall yang mencatat
pemberontakan-pemberontakan yang besar
yang terjadi di Pulau Jawa selama kurun waktu 1840 - 1875 mendapati
fakta hampir setiap tahun - kecuali
tahun 1844, 1847, 1860, 1863, 1871, dan 1874 yang tidak terjadi pemberontakan,
di mana daftar yang dibuat de Wall itu terbukti kurang lengkap karena tahun
1844 terjadi pemberontakan di Klaten, 1865 pecah pemberontakan di Cirebon,
Tegal, Jogjakarta, dan Kedu, tahun 1872 pemberontakan di Pekalongan
(Kartodirdjo, 1984).
Rangkaian panjang
perlawanan umat Islam yang dipimpin para ulama pesantren dan guru tarikat serta penguasa muslim, yang
sering didasari semangat mesianis itulah yang kiranya menjadikan pemerintah
kolonial Belanda bersikap ambivalen, yaitu sikap yang dibentuk oleh kombinasi kontradiksi
antara rasa takut dan harapan yang berlebihan (Benda, 1972:83) di mana
pemerintah kolonial dalam konteks kolonialismenya menetapkan kebijakan untuk
tidak mencampuri urusan agama pribumi.
Kebijakan pemerintah kolonial untuk tidak mencampuri masalah agama pribumi
karena rasa takut terjadinya salah faham yang gampang menyulut perselisihan dan
bahkan perang di kalangan penduduk muslim itu, terlihat juga dalam Surat
Keputusan Raja Belanda tertanggal 4 Februari 1859 No.78 yang memberikan
instruksi rahasia kepada Gubernur Jenderal
Hindia Belanda yang berbunyi: "Gubernur Jenderal yang memegang
prinsip bahwa pemerintah tidak boleh mencampuri urusan agama, boleh mencampurinya
bila dipandang perlu untuk memelihara rust
en orde." Sedang ayat 80 berbunyi: "Gubernur Jenderal harus
mengawasi dengan teliti tingkah laku para ulama, dan harus menjaga agar guru
atau zending Kristen tidak mengganggu mereka." (archive Universiteits
bibliotheek no.1803, A21, Leiden).
Salah satu di antara
perlawanan pribumi yang dipimpin seorang ulama guru tarikat yang juga
aristokrat Jawa yang sangat menyulitkan kolonial Belanda adalah sewaktu pecah
Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, di mana dalam peperangan itu
yang terlibat bukan hanya para ulama dari kalangan pesantren dan penganut
tarikat, melainkan melibatkan pula para bangsawan dari keraton-keraton Jawa,
Bugis, Bali, etnis keturunan Cina, India, penduduk desa, bahkan para sayyid
dari Arabia (Carey, 2012). Para bangsawan Jogjakarta, Surakarta dan
Mangkunegaran yang selalu berselisih selama seabad lebih, sebagian malah bisa
dipersatukan sebagai kekuatan "trah Mataram" keturunan Sultan Agung
dalam melawan Belanda yang ditandai keterlibatan sebagian mereka di dalam
Perang Jawa.
Ditinjau dari satu sisi,
lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dianggap sebagai kemunculan
konsep asimilatif pembentukan negara tradisional dalam konteks yang lebih luas
cakupannya, baik dari aspek kewilayahan maupun komunitas penghuni wilayah dan
konsep-konsep baru bagi tegaknya negara. Pertama, prasyarat keberadaan seorang
ratu sudah terwakili dengan kemunculan tokoh Soekarno yang diliputi kisah-kisah
mistis tentang putera Sang Fajar yang diberi sebutan Paduka Yang Mulia. Kedua,
keberadaan pusaka muncul dalam bentuk Pancasila dan UUD 1945 di mana keberadaan
dasar negara tersebut tidak sekedar dilihat sebagai konstitusi oleh sebagian
besar rakyat Indonesia, melainkan lebih dilihat sebagai sesuatu yang bersifat
keramat. Ketiga, produk hukum berupa KUHP yang berasal dari HIR ditegakkan
dengan konsekuen pada awal-awal berdirinya NKRI. Keempat, terdapat dukungan
para ulama tarikat terhadap NKRI terlihat sejak awal perintisan kemerdekaan
sampai sampai perjuangan mempertahankan NKRI dari rongrongan kolonial dan
gerakan separatis.
Umat Islam dan Sejarah
Kemiliteran
Sejak Jepang berkuasa di
Indonesia, terjadi perubahan besar-besaran dalam peri kehidupan rakyat
Indonesia terutama dalam kaitan dengan pengembangan doktrin kemiliteran. Fakta
sejarah mencatat bahwa pemerintah militer Jepang di Indonesia telah menciptakan
satuan-satuan militer dan para militer berskala nasional yang terdiri dari
pribumi-pribumi Indonesia, termasuk di dalamnya komunitas muslim dari pesantren.
Pada 29 Maret 1942 - dua
minggu setelah Jepang berkuasa - dibentuklah Barisan Pemuda yang terdiri atas
Barisan Seinendan (usia 14 - 22 tahun) dengan jumlah 5.000.000 orang dan
Barisan Keibodan (usia 23 - 33 tahun) dengan jumlah 500.00 orang. Kedua barisan
ini diberi pelajaran baris-berbaris dan latihan perang-perangan (kyoren). Murid-murid sekolah pun
diorganisasi ke dalam barisan pelajar sekolah menengah (Gakkotonari) yang terdiri dari Chugakko
(untuk siswa SLTP) dan Daigakko
(untuk siswa SLTA). Sedang untuk mahasiswa dibentuk Himpunan Mahasiswa yang
disebut Gakkutai. Mereka semua diberi pelajaran kyoren.
Pada 3 Oktober 1943
Saiko Sikikan Jepang mengeluarkan Osamu Osirei No.44 tentang pembentukan
tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang terdiri atas 60 batalyon di Jawa dan
Bali. Sebagian di antara komandan
batalyon PETA dengan pangkat Daidancho (Mayor) adalah para kiai dari
komunitas pesantren, yang dewasa itu akrab dengan amaliah tarikat. Itu terlihat
saat latihan pertama dimulai pada 5 Oktober 1943, terdapat nama: KH. Tubagus
Achmad Chatib (Daidancho Labuan - Banten),
K E. Oyong Ternaya (Daidancho Malingping Banten), KH Sjam'oen (Daidancho
Cilegon - Banten), KH R.M. Moeljadi Djojomartono (Daidancho Manahan -
Surakarta), KH Idris (Daidancho Wonogiri - Surakarta), KH R.
Abdoellah bin Noeh (Daidancho Jampang Kulon - Bogor), KH M. Basoeni (Daidancho
Pelabuhan Ratu - Bogor), KH Soetalaksana (Daidancho Tasikmalaya - Priangan), KH
Pardjaman (Daidancho Pangandaran - Priangan), KH Hamid (Kastaf Yon II
Pangandaran - Priangan), KH R. Aroedji Kartawinata (Daidancho Cimahi -
Priangan), KH Masjkoer (Daidancho Bojonegoro),
KH Cholik Hasjim (Daidancho Gresik-Surabaya), KH Iskandar Sulaiman
(Daidancho Malang), KH Doerjatman (Daidancho Tegal), KH R.
Amien Djakfar (Daidancho Pamekasan -Madura), KH Abdoel Chamid Moedhari
(Daidancho III Ambunten-Sumenep), KH Idris (Daidancho Wonogiri), K. Moeljadi
Djojomartono (Daidancho Surakarta). Akibat cukup banyak kyai yang menjabat
komandan batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan
yang pas untuk mereka "Apa para
kyai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai?"
Pada 14 Oktober 1944
pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara
khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan
pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat
sejumlah nama kiai dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), KH
Mawardi (Solo), KH Zarkasi (Ponorogo), KH Mursyid (Pacitan), KH Syahid
(Kediri), KH Abdul Halim (Majalengka), KH Thohir Dasuki (Surakarta), KH Roji'un
(Jakarta), KH Munasir Ali (Mojokerto),
KH Abdullah, KH Wahib Wahab (Jombang), KH Hasyim Latif (Surabaya), KH
Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dsb.
Ketika Jepang terdesak
hebat dalam perang di Pasifik, dibentuklah pusat-pusat latihan militer yang
salah satunya adalah di Besuki. Berdasar Keputusan Bersama antara penguasa
militer Jepang di Besuki (Besuki Syu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang
diketuai KH Mursyid, Yogeki Shodancho Wahyudi, dan pimpinan Hizbullah yang baru
lulus dari Cibarusa, Bogor, diselenggarakan pendidikan dan latihan bagi bintara
selama satu bulan dengan pusat latihan di Desa Awu-awu, Kecamatan Temuguru,
Kabupaten Banyuwangi. Latihan yang diikuti oleh seluruh bintara PETA dan
Hizbullah se-Karesidenan Besuki itu dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada
21 Juli 1945.
Susunan organisasi
pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Kobayashi dari Komando Militer (Butai)
sebagai pimpinan, KH Mursyid sebagai penasehat,
Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar
(komandan korp Hizbullah Karesidenan Besuki) sebagai Asisten Instruktur (Fuku
Taicho), dan 23 perwira Hizbullah
lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan). Sedangkan
sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai)
Besuki (Hayat,dkk, 1995). Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh
dari pendidikan di PETA dan Hizbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya
masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter. Karena itu, saat
proklamasi kemerdekaan dikumandangkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibentuk, tetapi tidak memiliki tentara, dan
kemudian saat dibentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat),
berbondong-bondonglah mereka untuk mendaftarkan diri bersama dengan mantan
anggota Heiho (orang Indonesia yang menjadi tentara reguler Jepang), KNIL
(Koninklijk Nederlands Indisch Leger -
pribumi yang jadi Angkatan Darat
Hindia Belanda) dan masyarakat.
Sejak awal dibentuknya
BKR yang kemudian menjadi TKR dan TNI, para kyai dan tokoh-tokoh pesantren yang
terdidik di kesatuan PETA dan Hizbullah
dan Sabilillah memiliki peran vital dalam pembentukan barisan-barisan dalam
kemiliteran setingkat batalyon. Dalam sejarah pembentukan TNI, mereka yang
tercatat sebagai komandan batalyon yang berasal dari kesatuan PETA, Hizbullah dan Sabilillah dewasa itu adalah ; KH Kholiq Hasyim, KH
Amien Djakfar, KH Abdoel Chamid, KH Iskandar Idris, KH Joenoes Anis, K.
Basoeni, K. Doerjatman, K. Abdoellah bin Noeh, KH K. Ternaya, KH. Idris, KH. Moeljadi
Djojomartono, K. Sjam'oen, KH Iskandar
Sulaiman, KH Zarkasi, KH Mursyid, KH Syahid, KH Abdullah, KH Zainudin, Sulthan Fajar, KH Masykoer, KH Bisri Sjansoeri, KH Zainal
Arifin, KH Moenasir Ali, KH Wahib Wahab, KH Jasin, KH Mansjoer Sholichy, KH
Achjat Chalimi, KH Hasjim Latif, KH Anwar Zen, KH Hasan Sjaifurrizal, KH Zaini
Moen'im, KH Djoenaidi, KH Asnawi Hadisiswoyo,
KH R. Salimoelhadi, KH Bolkin, K.
Mahfudz, K. P. Hadisoenarto, KH Abdoel
Moeslim, KH Moeslim, KH Dimjati Moeid,
K. Moeslich, K. Ridwan, K. Imam Nawawi, K. Zaeni, K H. Soedjak, K. Asfani, K.
Abdoel Syoekoer, K.Djarkasi, dsb.
Fenomena militerisme di
lingkungan umat Islam tradisional di pesantren
tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi yang
didirikan orang-orang berlatar pendidikan pesantren. Jauh sebelum organisasi
Nahdlatul Ulama diproklamasikan pada tahun 1926, telah lahir lebih dulu
organisasi kepemudaan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916.
Organisasi yang didirikan KH Wahab
Hasbullah dan KH Mas Mansyur itu bergerak di bidang sosial, pendidikan dan
dakwah (Soebagijo, 1982:21). Tahun
1918 KH Wahab Hasbullah, KH Mas Mansyur, HOS Tjokroaminoto, KH A. Dahlan Ahyad,
dan P. Mangun membentuk organisasi Taswirul Afkar (Pertukaran Pikiran).
Organisasi ini bagian dari perkumpulan Suryo Sumirat dan sejak didirikan 1918
papan nama Taswirul Afkar ditulis "Suryo Soemirat Afdeeling Taswirul
Afkar."
Tahun 1924 organisasi
pemuda itu pecah karena KH Mas Mansyur masuk Muhammadiyah. KH Wahab Hasbullah
kemudian membentuk Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang tetap memegang
prinsip kebangsaan dan memegang nilai-nilai tradisi yang baik. Syubbanul Wathan
ini kemudian membentuk organisasi kepanduan Ahlul Wathan (Pandu Tanah Air).
Demikianlah, sejak tahun 1924 kalangan muslim
tradisional berlatar pesantren sudah memiliki organisasi kepemudaan dan
kepanduan (Dhofir, 1982).
Sejak organisasi NU
dideklarasikan 31 Januari 1926, banyak pengurus Syubbanul Wathan dan Ahlul
Wathan yang menjadi pengurus. Karena itu, pada tahun 1930-an kedua organisasi
itu meleburkan diri menjadi Nahdlatul Syubban (Kebangkitan Pemuda). Tahun 1931,
dibentuklah Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama (PPNU) dan pada 14 Desember 1932
nama itu diubah jadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU). Namun atas saran KH Wahab
Hasbullah, nama itu diganti menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), yang mengacu
pada keteladanan kalangan Ansor di Madinah yang menjadi pembela utama Nabi
Muhammad Saw (Anam, 1990). Dalam kongres
II ANO yang berlangsung di Malang pada 21-24 Maret 1937, dibentuklah Barisan
Ansor Nahdlatoel Oelama (BANOE) yang kelak disebut Barisan Ansor Serbaguna
(BANSER). Berdasar petunjuk KH Hasyim Asy'ari berdasar kaidah umum dalam Islam,
maka pelajaran yang diberikan di organisasi BANOE meliputi baris-berbaris,
lompat dan lari, angkat besi, tali-temali, morse, mendirikan kemah, PPPK,
pacuan kuda, melempar lembing (Keputusan Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten
pada tahun 1938).
Bertolak dari latar
pembentukan BANOE inilah, saat pemerintah pendudukan Jepang membentuk PETA dan
Hizbullah, kader-kader dari pesantren yang aktif di organisasi NU terutama dari
BANOE dengan antusias menyambutnya. Bahkan dari kader-kader BANOE yang sudah
memperoleh didikan militer modern dari tentara Jepang itu, beramai-ramai
memasuki Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pemerintah RI. Bahkan saat
BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), TRI (Tentara Rakyat
Indonesia) hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI), kader-kader BANOE baik yang
aktif di PETA maupun Hzbullah dan Sabilillah
dan sejumlah tokoh kiai NU menduduki posisi strategi dengan pangkat
tinggi. Selama masa revolusi kemerdekaan (1945-1948) tercatat sejumlah perwira
TNI berlatar pesantren yang berasal dari organisasi NU dan BANOE seperti Mayor
KH Iskandar Sulaiman (Wakil Komandan Brigade Narotama, Malang), Mayor KH
Munasir Ali (Komandan Batalyon Condromowo, Jombang), Sulthan Fajar (Komandan Resimen Mujahidin
dari Brigade 13 Divisi VII Karesidenan Besuki), Mayor KH Mahfudz (Komandan
Batalyon 508 Kodam Brawijaya), KH Zainul Arifin (Komandan Tertinggi Divisi
Barisan Hizbullah), Letkol K. M. Munawar (Komandan Resimen Hizbullah pada
Divisi Sunan Bonang Surakarta, kelak jadi Resimen 6 Brigade 24), Letkol KH Iskandar Idris (Komandan Brigade
Nusantara di Pekalongan), Mayor Ahmad Bakri (Komandan Batalyon 18), Mayor A.
Gafar Ismail (Komandan batalyon 19), Brigjen KH Sulam Syamsun, Mayor Hamid Rusdi, Brigjen KH M. Rowi, Kol. Zein Thayib,
Kapten KH Yusuf Hasyim, dsb.
Ketika pecah pertempuran
10 November 1945, yang ditandai lahirnya Resolusi Jihad yang diawali dari
seruan KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober
1945, yang membuktikan peranan umat Islam tidak bisa dikesampingkan. Berbekal
doa, ajimat, wifik, dan amalan-amalan mistis tertentu, sejarah mencatat
bagaimana kalangan muslim tradisional Indonesia terpacu untuk melawan pasukan
Inggris dengan senjata sangat sederhana. Bahkan sejarah mencatat bagaimana
dalam proses pembentukan TNI yang dimulai dengan pembentukan BKR, yang
berkembang menjadi TKR dan berkembang lagi menjadi TRI hingga TNI tidak lepas
dari anasir paramiliter PETA, Hisbullah dan elemen pejuang Sabilillah yang tidak pernah terlepas dari peranan guru
tarikat dan ulama pesantren.
Marjinalisasi Tarekat dan Pesantren
Fenomena penduduk
pribumi bersekolah terjadi sewaktu pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan
Politik Etis pada 1900, di mana anak-anak pribumi dididik di lembaga sekolah yang
ditegakkan di atas dasar filsafat positivisme. Sekolah untuk pribumi seperti Holland
Inlands School (HIS), Meer Uitgebreid Lager School (MULO), Hoogere Burger School (HBS), Algemeene Middlebare School (AMS), School Tot Opleiding vor Inlandsche Artsen
(STOVIA) menjadi alternatif pilihan bagi anak-anak pribumi untuk menuntut ilmu. Keberadaan lembaga sekolah pemerintah itu
diikuti oleh lembaga-lembaga sekolah yang dibuka organisasi-organisasi seperti
Budi Utomo dan Taman Siswa - terutama organisasi PKI dengan konsep Sekolah
Rakyat (SR) - menjadikan sistem
persekolahan menjadi pilihan bagi masyarakat untuk menjadi manusia ‘modern' dan memperoleh lapangan pekerjaan
dari pemerintah kolonial.
Karena latar filosofis
sekolah adalah positivisme, maka orang-orang yang terproses dalam pendidikan
sekolah memandang rendah keberadaan pesantren yang berlatar agama. Itu
sebabnya, ketika para lulusan sekolah menduduki jabatan di pemerintahan RI,
terjadi usaha-usaha memarjinalisasi orang-orang berlatar pesantren dari
struktur pemerintahan. Hal itu terbukti saat Drs Moch. Hatta menjadi Perdana
Menteri RI tahun 1948, salah seorang menteri kabinetnya, Budiardjo, merancang usaha sistematis untuk
memarjinalisasi keberadaan para elit di pemerintahan dan militer yang berasal
dari pesantren. Kebijakan itu dikenal
sebagai Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Rera), yang awal sekali diterapkan
di lingkungan TNI dengan alasan menjadikan militer profesional. Ukuran yang
dijadikan parameter dalam Restrukturisasi dan Rasionalisasi itu, oleh
Budiardjo, ditetapkan ijazah sekolah. Maksudnya, professional dan tidaknya
seseorang dalam kemiliteran harus dibuktikan secara kongkret dengan ijazah sekolah.
Sejarah pembentukan TNI,
adalah bukti tak tersanggah tentang kemampuan kader-kader bangsa berlatar
pendidikan pesantren dalam menyerap konsep kemiliteran modern yang profesional
sebagaimana diajarkan tentara pendudukan
Jepang. Tetapi dengan kebijakan Moch. Hatta dalam Rera, keberadaan pesantren
yang berlatar agama sama sekali
direndahkan sebagai lambang keterbelakangan dunia pendidikan. Akibatnya, para
kyai dan tokoh berlatar pesantren yang tidak memiliki ijazah sekolah
tetapi menduduki jabatan penting di TNI
beramai-ramai diturunkan kepangkatannya. Tidak hanya di TNI, di lingkungan pemerintahan
pun, kebijakan Moch. Hatta yang memprioritaskan lulusan sekolah menjadi
parameter utama dalam penentuan rekruitmen dan profesionalisme birokrasi.
Kebijakan sepihak
pemerintahan Moch. Hatta inilah yang menjadi salah satu pemicu lahirnya
kekecewaan sebagian perwira TNI berlatar pesantren. Ironisnya, kekecewaan itu
justru diletuskan dalam bentuk gerakan makar DI/TII yang berlatar pendidikan
sekolah formal seperti Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, Kahar Muzakkar, Daud
Beureuh yang diikuti sebagian kecil militer berlatar pesantren. Peristiwa-peristiwa
tragis yang menimpa tokoh-tokoh militer berlatar pesantren sebagaimana ditulis
Pinardi (1964) dan Cornelijs Van Dijk (1983), sejatinya bermula dari kebijakan
Moch. Hatta dalam Rera yang disikapi secara reaktif oleh tokoh-tokoh militer
berlatar sekolah formal.
Sejarah negara-bangsa
Indonesia - terutama sejarah pembentukan TNI yang ditulis oleh orang-orang
berlatar sekolah - menafikan seluruh peranan umat Islam yang berasal dari
pesantren dan kalangan tarekat. Bahkan dalam penyusunan sejarah PETA yang
dilakukan Nugroho Notosusanto, sedikit pun keberadaan para kyai tidak
disinggung sehingga mengingkari keberadaan PETA sebagai tentara berlatar Islam
dengan lambang bendera bulan-bintang.
Sehingga dalam kurikulum sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah,
tidak sedikit pun peranan tokoh-tokoh militer berlatar pesantren disinggung
dalam proses kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai saat sekarang ini,
kebijaksanaan Moch. Hatta yang memprioritaskan lulusan sekolah dalam rekruitmen
dan kepangkatan serta profesionalisasi pegawai pemerintah dan
militer, tetap dijadikan satu-satunya parameter. Pesantren telah dimarjinalkan
sebagai lembaga pendidikan tradisional yang distigmatisasi sebagai lambang
keterbelakangan.
Sekalipun aspirasi
kalangan muslim tradisional terpinggirkan dari lingkaran kekuasaan politis,
namun dukungan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap dilakukan oleh
kalangan umat Islam tradisional, termasuk para pengamal tarikat. Hal itu
setidaknya terlihat dari keterlibatan kalangan muslim tradisional dalam usaha
penumpasan gerakan makar yang dilakukan DI/TII, PRRI/Permesta maupun PKI.
Sepanjang sejarah tegaknya NKRI, belum pernah tercatat ada gerakan umat Islam
tradisional yang melakukan gerakan
makar. Bahkan saat ditetapkan Pancasila sebagai azas tunggal dalam bernegara
dan bermasyarakat, kalangan muslim tradisional maju ke garda terdepan dan
menyatakan bahwa NKRI dengan falsafah Pancasila adalah bentuk final negara yang
diidealkan umat Islam Indonesia, di mana hal tersebut dibuktikan dengan
gerakan-gerakan riil menolak usaha-usaha kalangan muslim modernis dan
fundamental yang berfaham Wahabi yang menghendaki diberlakukannya Syariat Islam
ala Wahabi di Indonesia.
Daftar Kepustakaan
Abdullah, T., Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES,
1987.
Abdul Aziz, M., Japan Colonialism and Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff, 1955
Anam, C., Gerak
Langkah Pemuda Ansor: Sebuah Percikan Sejarah Kelahiran, Surabaya: Majalah
Aula, 1990.
Anderson, B. RO'G, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistence 1944-1946, Ithaca: Cornell
University Press, 1972.
Appelbaum, R.P., Theories of Social Change, Chicago: Markham Publishing, 1970.
Arifin, Imron., Kepemimpinan Kyai:
Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Kalimasahada Press, 1993.
Baudrillard, J., In The Shadow of the Silent Majorities, New York: Semiotext (e),
1983.
Benda, H. J., The Crescent an the Rising Sun: Indonesian
Islam under the Japanese Occupation 1942-1945, The Hague: Van Hoeve,
1958.
__________, Japanese Military
Administration in Indonesia, Connecticut: Yale University Press, 1965.
Bhabha, H., „Of Mimicry and Man: The Ambivalence
of Colonial Discourse" dalam Frederick Cooper and Ann Laura Stoler (eds.),
Tensions of Empire: Colonial Cultures in
a Bourgeois World, Berkeley: University of California Press, 1997.
Chomsky, N., Hegemony
or Survival: America's Quest for Global Dominance, Crows Nest New South Wales: Allen & Unwin, 2004
Dhofier, Zamakhsari., Tradisi Pesantren:
Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1984.
Gibb, H.A.R. (ed.)., Whiter Islam:
A Survey of Modern Movement in the
Moslem, London: Victor Gollancs, 1932.
Hayat, S., dkk, Peranan Ulama Dalam Perjuangan Kemerdekaan, Surabaya: PWNU Jatim,
1995.
Koloniaal Archive : - Arsip Kementrian Jajahan Negeri Belanda.
Notosusanto, N., The PETA-army in Indonesia 1943-1945, Jakarta : Departement of Defence and Security Centre for Armed Forces
History.
Pinardi, Sekarmadji Maridjan
Kartosuwirjo, Djakarta: Aryaguna, 1964.
Raliby, O., Documenta Historica:
Sedjarah dokumenter dari pertumbuhan dan perdjuangan negara Republik Indonesia. Djakarta:
Bulan-bintang. 1953.
Ritzer, G., Sociological Theory, New York: McGraw
Hill Company, 1996.
Soewito, Irna H.N.H., Rakyat Jawa
Timur Mempertahankan Kemerdekaan, 4 jilid, Jakarta: PT Grasindo. 1994.
Soros, G., On Soros : Staying Ahead of The Curve,
New York: John Willey & Sons, 1995.
Sunyoto, A., Ajaran
Tasauf dan pembinaan sikap hidup santri Pesantren Nurul Haq Surabaya: Studi
Kasus. (Tesis tidak dipublikasi). Malang: FPS IKIP, 1990.
*) -Disampaikan pada Pendidikan Kader Penggerak NU
Angkatan VIII di Rengasdengklok, 20-27 November 2013
-
Pengasuh Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin, Malang, Jawa Timur
-
Pengajar pada Jurusan Sastra Inggris-Perancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Brawijaya Malang
- Wakil Ketua PP Lesbumi PBNU 2010 - 2014
Post a Comment