BPJS Kesehatan Syar'i
BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh
pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh
rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan
TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha
lainnya ataupun rakyat biasa.
BPJS
Kesehatan bersama BPJS Ketenagakerjaan (dahulu bernama Jamsostek) merupakan
program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan
pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan
mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi
sejak 1 Juli
2014.
BPJS
Kesehatan sebelumnya bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT
Askes Indonesia (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT.
Askes Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014.
Pertanyaannya sekarag, Apakah konsep Jaminan Kesehatan Nasional dalam BPJS sesuai dengan
ajaran syariah Islam?
Padahal program tersebut identik sekali dengan
asuransi.
BPJS yang
merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat (UU BPJS Nomor 40/2011). Tidak mengandung unsur riba dan tidak identik dengan asuransi,
karena apabila semua unsur terpenuhi maka tergolong at-ta’min at-ta’awuny, yaitu persekutuan beberapa orang dengan membayar iuran dalam jumlah
tertentu, kemudian dari persekutuan itu digunakan untuk membiayai peserta yang
tertimpa musibah. Sebagaimana
di jelaskan oleh Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam kitabnya al-Fiqhul Islami wa
Adillatuhu juz 5 hal. 105. Lebih lanjut Wahbah az-Zuhaili berkata, bahwa
at-Ta’min at-Ta’awuni ini adalah sebuah bentuk akad tabarru’ juga ta’awwun alal
bir wal khoir.
Rasulullah SAW bersabda ;
قَالَ رَسُولِ اللهِ: «مَنْ نَفَّسَ عَنْ
مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ
كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللّهُ
عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً، سَتَرَهُ اللّهُ
فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. وَاللّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ
فِي عَوْنِ أَخِيهِ. صحيح مسلم ج 17 ص 19
Artinya : Rasulullah SAW bersabda, barangsiapa meringankan
kesusahan orang mu’min dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan meringankan
kesusahannya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barangsiapa memudahkan orang
yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan (kesulitan) nya di dunia dan akhirat.
Barangsiapa menutupi (aib) orang Islam, maka Allah akan menutupi (aib) nya di
dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hambanya selama ia mau menolong
saudaranya.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaan BPJS ini ada
yang perlu disempurnakan agar sesuai dengan konsep at-ta’min at-ta’awuny, yaitu:
1.
Tidak ada
paksaan dalam kepesertaan.
2.
Peserta
semata-mata bertujuan untuk membantu sesama (tidak untuk mendapatkan
keuntungan).
3.
Keadilan
dalam pelayanan (tidak ada diskriminasi pada peserta).
4.
Kemungkinan
jumlah iuran melebihi biaya yang dibutuhkan maka menjadi sedekah atau infaq
sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Akan tetapi pada pasal
14 UU BPJS disebutkan bahwa, Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang
sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota
BPJS. Setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Sedangkan
orang atau keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib mendaftarkan diri
dan anggota keluarganya pada BPJS. Setiap peserta BPJS
akan ditarik iuran yang besarnya ditentukan kemudian. Sedangkan bagi warga
miskin, iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui program Bantuan Iuran.
Jelasnya, bersenjatakan UU BPJS pasal 14 tersebut pemerintah mewajibkan
keikutsertaan rakyat pada program BPJS. Pertanyaannya. Bolehkah pemerintah
mewajibkan keikutsertaan rakyat pada program BPJS dan Bagaimana hukumnya rakyat mengikuti
program itu?
Menanggapi pertanyaan ini, perlu sekali kita
menyimak apa yang di katan oleh Sayyid Baalwi al-Hadlromi dalam kitabnya
“Bughyatul Musytarsyidin” hal. 251, bahwa, pemerintah boleh menentukan atas
sebagian rakyatnya mengeluarkam sesuatu seperti dirham dan ditasarrufkan kemasholihul
(muslimin). Pemerintah boleh mengambil itu dengan catatan rakyat dalam
memberikannya dengan kelapangan hati bukan karena takut atau malu atau yang
lainnya terhadap pemerintah.
Masih perkataan Sayyid Baalwi al-Hadlromi dalam
kitabnya tersebut, kali ini pada hal. 253. Orang-orang kaya
(orang yang punya kelebihan dari kebutuhannya dalam satu tahun, baik untuk
dirinya sendiri atau orang-orang yang dalam tanggungjawabnya), wajib (syar’an) memberi
pakaian orang yang telanjang. Pakaian yang bisa menutup aurot dan pakaian yang
bisa melindungi badan, wajib memberi makan orang lapar, ... Jika mereka tidak
melakukannya maka pemerintah boleh mengambil harta mereka (jika ada tuntutan
untuk itu), dan mentasarufkannya ke tempat-tempat tasaruf (yang tepat/sesuai).
Syaikh Zainuddin bi Abdul Aziz al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in juz 4. Hal. 182, mengatakan;
wajib kifayah atas orang-orang kaya (bila anggaran Negara tidak mencukupi dan
tidak ada dana zakat), menghalau segala hal yang membahayakan orang yang
ma’shum, seperti orang Islam, kafir zhimmiy dan kafir musta’man yang kelaparan atau yang telanjang dan
lain-lain. jika belum sampai kepada situasi yang kritis”, Syaikh Abu Bakar
bin Muhammad Syatho dalam I’anatut Tholibin syarah Fathul Mu’in juz 4 hal. 182 dalam memberikan penjelasan
dari naskah tersebut, mengatakan ; Jika sudah sampai pada situasi kritis
maka tindakan itu wajib atas setiap orang yang melihatnya, walaupun orang itu
tidak mempunyai kelebihan kebutuhan standar dalam satu tahun.
Orang yang kelaparan, orang yang telanjang itu
semua hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak dloror yang menimpah.
Penyakit dengan berbagai macam jenisnya adalah juga sebuah bahaya atas penderitanya.
Ini artinya, BPJS
Kesehatan bagi warga miskin, sudah jelas ditanggung
pemerintah melalui program Bantuan Iuran. Kemudian bagi pemerintah boleh mewajibkan keikutsertaan warga (yang punya kelebihan kebutuhan standar dalam satu
tahun) pada program BPJS dengan syarat apabila anggaran
negara tidak mencukupi dan kadar iuran yang ditetapkan masih dalam batas
kemampuan. Sedangkan bagi warga (yang punya kelebihan kebutuhan standar
dalam satu tahun) tersebut
boleh-boleh saja mengikuti program itu. Dan bagi mayasir al-muslimin
(orang-orang kaya) bisa menjadi wajib mengikuti program BPJS Kesehatan tersebut. Wallohu a’lam.
Referensi Pendukung :
الفقه الإسلامي وأدلته (5/ 101)
أما التأمين التعاوني: فهو أن يتفق عدة
أشخاص على أن يدفع كل منهم اشتراكاً معيناً، لتعويض الأضرار التي قد تصيب أحدهم
إذا تحقق خطر معين. وهو قليل التطبيق في الحياة العملية.
الفقه الإسلامي وأدلته (5/ 102)
وأما التأمين بقسط ثابت: فهو أن يلتزم
المؤمَّن له بدفع قسط محدد إلى المؤمِّن: وهو شركة التأمين المكونة من أفراد
المساهمين، يتعهد (أي المؤمن) بمقتضاه دفع أداء معين عند تحقق خطر معين. وهو النوع
السائد الآن. ويدفع العوض إما إلى مستفيد معين أو إلى شخص المؤمن أو إلى ورثته،
فهو عقد معاوضة ملزم للطرفين. والفرق بين النوعين: أن الذي يتولى التأمين التعاوني ليس هيئة مستقلة
عن المؤمن لهم، ولايسعى أعضاؤه إلى تحقيق ربح، وإنما يسعون إلى تخفيف الخسائر التي
تلحق بعض الأعضاء. أما التأمين بقسط ثابت فيتولاه المؤمن (أي الشركة المساهمة)
الذي يهدف إلى تحقيق ربح، على حساب المشتركين المؤمن لهم. وكون المؤمن له قد
لايأخذ شيئاً في بعض الأحيان لايخرج التأمين من عقود المعاوضات، لأن من طبيعة
العقد الاحتمالي ألا يحصل فيه أحد العاقدين على العوض أحياناً.
الفقه الإسلامي وأدلته (5/ 108)
موقف الفقه الإسلامي من التأمين: لا شك كما
تبين سابقاً في جواز التأمين التعاوني في منظار الفقهاء المسلمين المعاصرين؛ لأنه
يدخل في عقود التبرعات، ومن قبيل التعاون المطلوب شرعاً على البر والخير؛ لأن كل
مشترك يدفع اشتراكه بطيب نفس، لتخفيف آثار المخاطر وترميم الأضرار التي تصيب أحد
المشتركين، أياً كان نوع الضرر، سواء في التأمين على الحياة، أو الحوادث الجسدية،
أو على الأشياء بسبب الحريق أو السرقة أو موت الحيوان، أو ضد المسؤولية من حوادث
السير، أو حوادث العمل، ولأنه لا يستهدف تحقيق الأرباح. وعلى هذا الأساس نشأت شركات التأمين التعاوني في
السودان وغيره، ونجحت في مهامها وأعمالها، بالرغم من وصف القانونيين لها بأنها
بدائية.
أبحاث هيئة كبار العلماء ج 4 ص 41
فالتأمين التعاوني يقوم به عدة أشخاص
يتعرضون لنوع من المخاطر وذلك عن طريق اكتتابهم بمبالغ نقدية على سبيل الاشتراك
تخصص هذه المبالغ لأداء التعويض المستحق لمن يصيبه منهم الضرر، فإن لم تف الأقساط
المجموعة طولب الأعضاء باشتراك إضافي لتغطية العجز، وإن زادت عما صرف من تعويض كان
للأعضاء حق استرداد هذه الزيادة، وكل واحد من أعضاء هذه الجمعية يعتبر مؤمنا
ومؤمنا له وتدار هذه الجمعية بواسطة بعض أعضائها، ويتضح من تصوير هذا النوع من
التأمين أنه أشبه بجمعية تعاونية تضامنية لا تهدف إلى الربح وإنما الغرض منها درء
الخسائر التي تلحق بعض الأعضاء بتعاقدهم على توزيعها بينهم على الوضع المذكور.
تحفة المحتاج في شرح المنهاج ج 10 ص 264
(قَوْلُهُ وَبَحَثَ الْإِسْنَوِيِّ أَنَّ
كُلَّ مَا أَمَرَهُمْ بِهِ مِنْ نَحْوِ صَدَقَةٍ وَعِتْقٍ يَجِبُ كَالصَّوْمِ
إلَخْ) وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ فَقَدْ صَرَّحَ بِالتَّعَدِّي الرَّافِعِيُّ فِي
بَابِ قِتَالِ الْبُغَاةِ وَعَلَى هَذَا فَالْأَوْجَهُ أَنَّ الْمُتَوَجَّهَ
عَلَيْهِ وُجُوبُ الصَّدَقَةِ بِالْأَمْرِ الْمَذْكُورِ مَنْ يُخَاطَبُ بِزَكَاةِ
الْفِطْرِ فَمَنْ فَضَلَ عَنْهُ شَيْءٌ مِمَّا يُعْتَبَرُ ثَمَّ لَزِمَهُ
التَّصَدُّقُ عَنْهُ بِأَقَلِّ مُتَمَوَّلٍ هَذَا إنْ لَمْ يُعَيِّنْ لَهُ
الْإِمَامُ قَدْرًا، فَإِنْ عَيَّنَ ذَلِكَ عَلَى كُلِّ إنْسَانٍ فَالْأَنْسَبُ
بِعُمُومِ كَلَامِهِمْ لُزُومُ ذَلِكَ الْقَدْرِ الْمُعَيَّنِ لَكِنْ يَظْهَرُ
تَقْيِيدُهُ بِمَا إذَا فَضَلَ ذَلِكَ الْمُعَيَّنُ عَنْ كِفَايَةِ الْعُمُرِ
الْغَالِبِ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ إنْ كَانَ الْمُعَيَّنُ يُقَارِبُ
الْوَاجِبَ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ قُدِّرَ بِهَا أَوْ فِي أَحَدِ خِصَالِ
الْكَفَّارَةِ قُدِّرَ بِهَا, وَإِنْ زَادَ عَلَى ذَلِكَ لَمْ يَجِبْ، وَأَمَّا
الْعِتْقُ فَيُحْتَمَلُ أَنْ يُعْتَبَرَ بِالْحَجِّ وَالْكَفَّارَةِ فَحَيْثُ
لَزِمَهُ بَيْعُهُ فِي أَحَدِهِمَا لَزِمَهُ عِتْقُهُ إذَا أَمَرَهُ بِهِ
الْإِمَامُ شَرْحُ مَرَّ (قَوْلُهُ: الْمُوسِرُونَ بِمَا يُوجِبُ الْعِتْقَ فِي
الْكَفَّارَةِ) كَذَا مَرَّ
صحيح مسلم ج 12 ص 300
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْأَشْعَرِيُّ
وَأَبُو كُرَيْبٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِي أُسَامَةَ قَالَ أَبُو عَامِرٍ حَدَّثَنَا
أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنِي بُرَيْدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ
جَدِّهِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ إِنَّ
الْأَشْعَرِيِّينَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ
بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ
اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي
وَأَنَا مِنْهُمْ
شرح مسلم للنووي ج 8 ص 270
قَوْله: (إِنَّ الْأَشْعَرِيِّينَ إِذَا
أَرْمَلُوا فِي الْغَزْو إِلَى آخِره) مَعْنَى (أَرْمَلُوا) فَنِيَ طَعَامهمْ.
وَفِي هَذَا الْحَدِيث فَضِيلَة الْأَشْعَرِيِّينَ، وَفَضِيلَة الْإِيثَار
وَالْمُوَاسَاة، وَفَضِيلَة خَلْط الْأَزْوَاد فِي السَّفَر، وَفَضِيلَة جَمْعهَا
فِي شَيْء عِنْد قِلَّتهَا فِي الْحَضَر، ثُمَّ يَقْسِم، وَلَيْسَ الْمُرَاد
بِهَذَا الْقِسْمَة الْمَعْرُوفَة فِي كُتُب الْفِقْه بِشُرُوطِهَا، وَمَنَعَهَا فِي
الرِّبَوِيَّات، وَاشْتِرَاط الْمُوَاسَاة وَغَيْرهَا، وَإِنَّمَا الْمُرَاد هُنَا
إِبَاحَة بَعْضهمْ بَعْضًا وَمُوَاسَاتهمْ بِالْمَوْجُودِ.
صحيح مسلم ج 17 ص 19
قَالَ: قَالَ رَسُولِ اللهِ: «مَنْ نَفَّسَ
عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللّهُ عَنْهُ كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللّهُ
عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً، سَتَرَهُ اللّهُ
فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. وَاللّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ
فِي عَوْنِ أَخِيهِ.
بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي ص:
251
(مسألة:
ك): عين السلطان على بعض الرعية شيئاً كل سنة من نحو دراهم يصرفها في المصالح إن
أدّوه عن طيب نفس لا خوفاً وحياء من السلطان أو غيره جاز أخذه، وإلا فهو من أكل
أموال الناس بالباطل، لا يحل له التصرف فيه بوجه من الوجوه، وإرادة صرفه في
المصالح لا تصيره حلالاً.
بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي ص:
253
(مسألة:
ك): من الحقوق الواجبة شرعاً على كل غني وحده من ملك زيادة على كفاية سنة له
ولممونه ستر عورة العاري وما يقي بدنه من مبيح تيمم، وإطعام الجائع، وفك أسير
مسلم، وكذا ذمي بتفصيله، وعمارة سور بلد، وكفاية القائمين بحفظها، والقيام بشأن
نازلة نزلت بالمسلمين وغير ذلك، إن لم تندفع بنحو زكاة ونذر وكفارة ووقف ووصية
وسهم المصالح من بيت المال لعدم شيء فيه أو منع متوليه ولو ظلماً، فإذا قصر
الأغنياء عن تلك الحقوق بهذه القيود جازه للسلطان الأخذ منهم عند وجود المقتضى
وصرفه في مصارفه.
فتح المعين مع إعانة الطالبين - (4 / 182)
(ودفع
ضرر معصوم) من مسلم وذمي ومستأمن جائع لم يصل لحالة الإضطرار أو عار أو
نحوهما والمخاطب به كل موسر بما زاد على
كفاية سنة له ولممونه عند احتلال بيت المال وعدم وفاء زكاة
(قوله ودفع ضرر معصوم) ..... (وقوله لم يصل
لحالة الاضطرار) أما إذا وصل إليها فيجب إطعامه على كل من علم به ولو لم يزد ما
عنده عن كفاية سنة وإن كان يحتاجه عن قرب (قوله أو عار) معطوف على جائع (قوله أو نحوهما) أي نحو الجائع والعاري
كمريض (قوله والمخاطب به) أي بدفع الضرر
عمن ذكر (قوله بما زاد) متعلق بموسر (قوله عند اختلاف الخ) متعلق بالمخاطب أي أن
المخاطب بدفع الضرر الموسر عند عدم انتظام بيت المال وعدم وفاء الزكاة أو نحوها
بكفايته فإن لم يختل ما ذكر أو وقت الزكاة بها لا يكون الموسر هو المخاطب به بل
يكون دفع ضرره من بيت المال أو من الزكاة
بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي ص 271
(مسألة: ي): أرزاق القضاة كغيرهم من
القائمين بالمصالح العامة من بيت المال، يعطى كل منهم قدر كفايته اللائقة من غير
تبذير، فإن لم يكن أو استولت عليه يد عادية ألزم بذلك مياسير المسلمين، وهم من
عنده زيادة على كفاية سنة، ولا يجوز أخذ شيء من المتداعيين، أو ممن يحلفه أو يعقد
له النكاح،
بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي ص:
142
(مسألة:
ك): يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر، فإن لم
تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال
بصرفه في مصارفه، وإن كان المأمور به مباحاً أو مكروهاً أو حراماً لم يجب امتثال
أمره فيه كما قاله (م ر) وتردد فيه في التحفة، ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به
الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط، وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهراً
وباطناً وإلا فظاهراً فقط أيضاً، والعبرة في المندوب والمباح بعقيدة المأمور،
ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال، ومعنى باطناً أنه يأثم اه. قلت:
وقال ش ق: والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام
أو مكروه، فالواجب يتأكد، والمندوب يجب، وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب
التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي الهيئات، وقد وقع أن السلطان أمر نائبه
بأن ينادي بعدم شرب الناس له في الأسواق والقهاوي، فخالفوه وشربوا فهم العصاة،
ويحرم شربه الآن امتثالاً لأمره، ولو أمر الإمام بشيء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم
يسقط الوجوب اه.
قرة العين للشيخ حسين المغربي المالكي ص:
332
(مسئلة) قال الشيخ التنبكتي فى تكميل
الديباج آخر ترجمة العلامة الشيخ ابراهيم بن موسى بن محمد اللخمي الغرناطي ابو
اسحاق الشهير بالشاطبي ما نصه: وكان صاحب الترجمة ممن يرى جواز ضرب الخراج على
الناس عند ضعفهم وحاجاتهم لضعف بيت المال عن القيام بمصالح الناس كما وقع للشيخ
المالقي فى كتاب الورع قال توظيف الخراج على المسلمين من المصالح المرسلة ولاشك
عندنا فى جوازه وظهور مصلحته فى بلاد الاندلس فى زماننا الآن لكثرة الحاجة لما
يأخذه العدو من المسلمين سوى ما يحتاج اليه الناس وضعف بيت المال الىن عنه فهذا
يقطع بجوازه الآن فى الاندلس وانما النظر فى القدر المحتاج اليه من ذلك وذلك موكول
الى الامام ..... وكان خراج بناء السور فى بعض مواضع الاندلس فى زمانه موظفا على
اهل الموضع فسئل عنه امام الوقت فى الفتيا بالاندلس الاستاذ الشهير ابو سعيد بن لب
فافتى انه لايجوز ولايسوغ وافتى صاحب الترجمة بسوغه مستندا فيه الى المصلحة
المرسلة معتمدا فى ذلك الى قيام المصلحة التى ان لم يقم بها الناس فيعطونها من
عندهم ضاعت وقد تكلم على المسئلة الامام الغزالي فى كتابه فاستوفى ووقع لابن
الفراء فى ذلك مع سلطان وقته وفقهائه كلام مشهور لانطيل به اه .
Post a Comment