Melirik Demokrasi Pancasila dari Bingkai Dzikir Bareng
Dzikrullah ialah mengingat Allah swt. Dalam arti luas, dzikrullah meliputi semua aktifitas manusia yang didalamnya ada dorongan untuk mengingat Allah swt dan Rasul-Nya, misalnya sholat, bertasbih, bertahlil, bertakbir, memuji-muji Allah, majlisil ilmi, majlis madchur Rasul, membaca riwayat para utusan Allah dan para kekasih-kekasih Allah, dengan tujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt.
Dalam
tradisi NU, ada banyak model dan corak dari dzikir tersebut, dari yang
sendirian sampai yang dilakukan berjamaah (dzikir bersama/bareng). Seperti
yasinan, manakiban, tahlilan, tujuh harian bagi orang yang meninggal, haul, dan
lain-lain.
Dalam
ritual yasinan, tahlilan, manakiban dan lain-lain, terdapat dimensi ubudiyah,
yakni beribadah kepada Allah. Meskipun dalam ritual tersebut setiap orang berbeda-beda dalam niat dan
tujuan, ada yang tulus bertaqorrub kepada Allah, ada
yang karena memenuhi panggilan jiwa yang gersang dan hampa, ada juga yang datang
karena stress dihimpit persoalan rumah tangga dan kesulitan ekonomi atau
persoalan-persoalan lainnya.
Terlepas dari niat dan tujuan masing-masing, aktifitas dzikrullah ini merupakan awal yang
bagus dalam rangka menumbuhkan minat seseorang untuk memperbaiki sifat dan
prilakunya. Kalau masyarakatnya bersifat dan berprilaku baik,
maka Negara akan aman, tertib dan hukum bisa dijalankan sebagaimana mestinya.
Selanjutnya…
dalam ritual-ritual
tersebut, ternyata juga
ada sisi sosialnya,
silaturahmi, bertemu orang lain, saling
menyapa dan ada pula sedekah. Itulah yang dalam konteks demokrasi disebut sebagai civic engagement
(keterlibatan masyarakat) yang sesungguh-nya sangat dibutuhkan oleh demokrasi. Menjadikan seorang yang religius menjadi
positif dalam konteks demokrasi. Membawa ummat
Islam kedalam kehidupan yang sangat kaya dan heterogen secara sosial-budaya.
Artinya,
jika umat Islam makin terlibat dalam kehidupan sosial, dia makin terhindar dari
benih-benih fundamentalisme. Karena itulah, bisa dipahami mengapa orang-orang
sufi (bukan nyufi) cukup toleran. Hal itu disebabkan ada dimensi sosial yang
mereka rasakan, mereka lihat, dan mereka alami sendiri. Dengan begitu, mereka
tahu bahwa hidup bukan hanya hitam dan putih. Mereka juga sadar bahwa
kepedulian terhadap sesama adalah sumber energy dalam kehidupan.
Walhasil,
ritual-ritual itu mempunyai efek ganda dalam diri si-pelaku, ada semacam
kekuatan yang menarik si-pelaku untuk menjadi lebih baik, baik sisi individual
atau sosialnya. Inilah yang mendukung terbentuknya sebuah demokrasi pancasila.
Demokrasi yang berketuhanan yang maha esa, berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang mempersatukan dan mengedepankan musyawarah dalam menentukan
kebijakan untuk mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat. Demokrasi yang
berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan
rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan
kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.
Post a Comment