Gus Mus: Yang Kurang Sekarang Ini adalah Olah Rasa
Gus Mus (Foto: Kemenag)
Saat
menyampaikan pidato kebudayaan pada Muktamar Sastra 2018 di Pondok
Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Situbondo, Rabu (18/12), KH A Mustofa
Bisri (Gus Mus) mengatakan bahwa Muktamar Sastra menjadi momen penting
untuk mengolah rasa agar tidak menjadi jiwa-jiwa yang sombong serta
tidak hanya mengedepankan olah pikir semata.
“Kita sekarang yang kurang adalah olah dzauq (rasa). Orang yang tidak punya dzauq jangan diajak bicara soal sastra. Ndak mudeng (tidak paham). Jangan diajak bicara soal Rahmatan lil Alamin. Ndak Mudeng. Dia ndak punya rasa kok. Rahmatan itu rasa kok. Kalau orang nggak punya rasa, nggak punya perasaan, hanya perhatiannya kepada manusia saja. Tidak perhatian kepada perasaan manusia,” katanya.
Sekarang ini lanjutnya banyak orang yang memperhatikan orang lain tapi jarang yang memperhatikan perasaan orang. Karena disamakan dengan dirinya.
Oleh karenanya Gus Mus berharap kegiatan Muktamar Sastra ini dapat menjadi wahana olah rasa yang akan terus dilaksanakan secara periodik untuk memberi kontribusi terhadap perkembangan sastra dan rasa khususnya di kalangan pesantren.
Gus Mus juga menambahkan bahwa salah satu yang membedakan orang pesantren dan bukan adalah sastra. Sastra merupakan makanan sehari-hari orang pesantren.
"Orang pesantren punya humor, kesantunan, kelembutan. Ada atsar dari sastra Al-Qur’an pada diri mereka. Sebab, mereka tidak hanya membaca tapi juga mempelajari ilmu alat untuk memahami keindahan Al-Qur’an," lanjutnya.
Hal inilah yang menurut Gus Mus menjadikan pesantren banyak melahirkan para sastrawan di antaranya KH Abdul Hamid Pasuruan.
"Mbah Hamid sejak di Tremas sudah dikenal sastrawan. Kyai Asad juga sastrawan. Tapi, keduanya lebih menonjol kewaliyannya. Ini kebalikan saya lah," guyon Gus Mus disambut tawa para sastrawan dan ribuan santri yang memadati Auditorium Pesantren Salafiyah.
Sastrawan pesantren lanjutnya seperti KH Hasyim Asy'ari, mahir membuat syair saat ada perbedaan pandangan dengan ulama lain agar tidak dipahami langsung oleh santri.
"Ini untuk menyembunyikan perbedaan pandangan di antara mereka supaya santri tidak menganggap permusuhan. Saking hati-hatinya, mereka gunakan syair," tuturnya.
Gus Mus Kritisi Sistem Pendidikan
Selain membahas seputar sastra, Gus Mus juga membahas tentang sistem pendidikan saat ini. Sistem pendidikan warisan kolonialisme yang mendikotomikan pendidikan umum dan pendidikan agama menurutnya sangat merugikan bangsa Indonesia. Pendidikan di Indonesia menurutnya dikacaukan oleh Belanda dengan sistem tersebut dan sampai sekarang masih saja dipakai di Indonesia.
“Ini akibatnya lucu sekali. Di Indonesia ini ada madrasah ada sekolah. Ada yang sampai keliru anakmu sekolah dimana? Dia sekolah di madrasah. Ada sekolah, ada madrasah. Ada toko buku ada toko kitab. Ini merugikan kita,” katanya.
Sehingga sekarang menurut Gus Mus, ada tren baru orang yang berpendidikan umum ingin agama dengan jalan pintas. Hal ini berakibat banyak di antara mereka yang berpendidikan umum dan belajar agama dengan model mereka merasa sudah bangga dengan kemampuan agama yang dimilikinya.
“Itu orang yang sok-sokan (bangga) soal agama, itu orang yang pendidikannya selama ini eksak, ilmu pasti. Bukan ilmu sosial. Coba anda selidiki semua. Mereka sok-sokan karena memang tidak pinter betulan,” katanya
Muktamar Sastra pertama ini akan berlangsung hingga 20 Desember 2018 mendatang dengan bentuk sidang pleno dan diskusi panel. Sejumlah tokoh dijadwalkan hadir dalam Muktamar Sastra, antara lain: KH R Achmad Azaim Ibrahimy, KH D Zawawi Imron, KH Mutawakkil Alallah dan Emha Ainun Nadjib.
Hadir dalam kesempatan pembukaan Menag Lukman Hakim Saifuddin, Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi'iyah KH Ahmad Ahzami Ibrahimy, Budayawan KH D Zawawi Imron, dan ratusan sastrawan dari sejumlah daerah di Indonesia. (Muhammad Faizin)
Post a Comment