header ads

Ahlussunnah wal Jama'ah. Pengertian dan Mata Rantai

Pengertian Ahlussunnal wal Jama’ah

Ahlun bermakna Keluarga, seperti dalam kata (اَهْلُ الْبَيْت) keluarga dalam rumah tangga. Pengikut, seperti (اَهْلُ  السُّنَّة) pengikut sunnah. Penduduk seperti kata (اَهْلُ الْجَنَّةِ) penduduk surga. Sedangkan As-sunnah, Hadlrotus Syaikh Muhammad Hasim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan, Assunnah Menurut bahasa berarti Jejak atau jalan walaupun tidak di ridloi oleh Allah. Secara syar’i: adalah Jejak atau jalan yang diridhai Allah SWT dan menjadi pijakan dalam agama, yang pernah ditempuh oleh Rasulullah SAW atau orang yang menjadi panutan dalam agama seperti sahabat. Secara ‘urfi (tradisi): Ajaran yang dilalui oleh seorang panutan dalam agama, seperti nabi atau wali.


Arti al-Jama’ah adalah menjaga kekompakan, kebersamaan dan kolektifitas, kebalikan dari kata al-furqah (golongan yang berpecah belah). Dikatakan al-jama’ah, karena golongan Ahlussunnah wal Jama’ah ini selalu memelihara kekompakan, kebersamaan dan kolektifitas terhadap sesama. Meskipun terjadi perbedaan pandangan di kalangan sesama mereka, perbedaan tersebut tidak sampai saling mengkafirkan, membid’ahkan dan memfasikkan.

Menurut Syaikh Abdul Qodir al-Jilani dalam al-Ghunyah, Al-Jama’ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi r pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT (Mudah-mudahan Allah memberi Rahmat kepada mereka semua). (al-Gunyah li Thalibi Thariq al-haqq, juz 1 hal. 80).

Adapun yang di maksud dengan Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqh. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi r dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat yaitu Madzab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. (Ziyaadaat Ta’liiqaat hal. 23-24). Sayyid Murtadha al-Zabidi mengatakan, Jika disebut Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah maka yang dimaksud adalah para pengikut Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi (Ittichaf al-Sadah al-Muttaqin, Juz 2, hal. 6)

Ibn Abbas t berkata ketika menafsirkan firman Allah: “يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ  “ Orang-orang yang wajahnya putih berseri itu adalah pengikut ahlussunnah wal-jama’ah dan orang-orang yang berilmu. Sedangkan orang-orang yang wajahnya hitam muram, adalah pengikut bid’ah dan kesesatan.” (Syarh Ushul I’tiqd Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Juz 2, hal.92). Ibn Umar juga berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atas kesesatan. Pertolongan Allah selalu bersama jama'ah. Dan barangsiapa yang mengucilkan diri dari jama'ah, maka ia mengucilkan dirinya ke neraka." (HR. Turmuzhi dan al-Hakim).


Mata Rantai Aqidah ASWAJA

Sistem pemahaman Aqidah Islamiyyah menurut Ahlussunnah wal Jamaah sebenarnya hanyalah merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah saw dan Khulafa’ur-rosyidin. Tetapi system pemahan ini baru menonjol setelah abad ke-2 H, yaitu setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah. Dalam konteks sejarah para imam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang aqidah atau Ilmu Kalam telah ada sejak zaman sahabat Nabi Muhammad saw. Imam Ahlussunnah wal Jamaah pada saat itu adalah Ali bin Abi Tholib, yang berjasa membendung pendapat golongan Khowarij tentang al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman) dan membendung pendapat golongan Qodariyah tentang masyi’ah dan Istitho’ah (kehendak tuhan dan daya manusia), serta kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat. Selain Sayyidina Ali, masih ada Abdullah bin Amr yang menolak pendapat Ma’bad al-Juhani tentang kebebasan berkehendak bagi manusia.

Di era tabi’in, muncul beberapa imam yang mngemban misi Ahlussunnah wal Jamaah, diantaranya, Umar bin Abdul Aziz dengan Risalahnya “Risalah Balighoh fir Rodd ‘alal Qodariyyah, Zaid bin Ali Zainal Abidin, Hasan al-Bashri, as-Sya’bi dan az-Zuhri. Setelah generasi ini, muncul imam Ja’far bin Muhammad Shodiq. Dari ulama-ulama fiqh dan imam madzhab juga ada yang ikut-ikut meng-counter paham-paham yang melenceng ini, diantaranya, imam Abu Hanifah dengan karyanya al-Fiqhul Akbar, Imam Syafi’I dengan karyanya Fi Tashhihin Nubuwwah war Rodd ‘alal Barohimah dan ar-Rodd ‘alal Ahwa.

Setelah periode imam Syafi’i, muncul muridnya yang berhasil menyusun paham aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya Abul Abbas ibnu Suraij. Generasi sesudah itu baru muncul imam Abul Hasan al-Asy’ari yang popular sebagai salah seorang penyelamat aqidah keimanan, lantaran keberhasilannya membendung paham Mu’tazilah.

Dari mata rantai data di atas, yang sekaligus sebagai dalil histories, dapat dikatakan bahwa aqidah Ahlussunnah wal Jamaah secara substansif telah ada sejak zaman sahabat. Artinya paham Ahlussunnah wal Jamaah tidak sepenuhnya bawaan Abul Hasan al-Asy’ari. Sedangkan apa yang dilakukan oleh imam Abul Hasan al-Asy’ari adalah menyusun doktrin paham Ahlussunnah wal Jama’ah secara sistematis, sehingga menjadi pedoman atau madzhab umat Islam. Sesuai dengan kehadirannya sebagai reaksi terhadap munculnya paham-paham yang ada pada zaman itu.

Corak khusus madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah lebih mengedepankan al-Qur’an dan al-Hadits daripada Akal. Artinya akal harus sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan al-Qur’an dan al-Hadits yang disesuaikan dengan akal. Dalam bidang Tauhid atau Aqidah, Para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan dua istilah dalil, yaitu dalil Naqli dan dalil Aqli. Dalil Naqli merupakan dalil yang di ambil langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, sementara dalil Aqli adalah dalil yang berdasarkan pemikiran akal yang sehat. Sebagaimana pendapat imamul a’dzom Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits pada posisi primer, sementara Akal diletakkan pada posisi sekunder. Hal ini sangat berseberangan dengan madzhab Mu’tazilah yang cenderung memposisikan akal di atas segala-galanya.

Imam Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H) asalnya adalah pengikut setia golongan mu’tazilah. Tetapi semakin menekuni ajaran Mu’tazilah, beliau semakin melihat banyaknya celah dan kelemahan yang ada dalam ajaran-ajarannya, akhirnya ketika berusia 40 tahun beliau memutuskan dan menyatakan keluar dari Mu’tazilah. Tetapi jalan yang di hadapinya setelah itu tidaklah licin dan tanpa hambatan. Sebagai bekas Mu’tazilah dan masih dalam skup yang sama, yaitu menggunakan metode filsafat dalam argumentasi-argumentasinya. Bagi sebagian orang beliau masih tetap mencurigakan dengan pemikiran-pemikirannya, bahkan tidak sedikit orang yang menuduhnya menyeleweng dan kafir. Dalam karya-karya tulisnya yang terkenal seperti, al-Ibanatu ‘an Ushulid Diyanah, Risalah fi Istihsanil Khoudl fi Ilmil Kalam, al-Luma’ dan Maqolatul Islamiyyin Wakhtilaful Mushollin, menggambarkan betapa imam Asy’ari membela diri dari serangan berbagai kalangan dan bagaimana dalam perjuangannya mengkonsolidasikan pendapat-pendapatnya, dan seruan-seruannya tentang betapa pentingnya mempelajari Ilmu Kalam.

Perumus paham Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang aqidah selain imam Asy’ari adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi atau lebih dikenal dengan sebutan imam Maturidi. Beliau lahir di daerah Maturid dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H. Beliau adalah pengikut madzhab Hanafi. Maturidiyah dan Asy’ariyah dilahirkan dalam kondisi social dan pemikiran yang serupa. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan agar mengambil sikap tengah di antara ekstrimitas kaum rasionalis dan ekstimitan kaum tekstualis (tawasuth Bainat Tafrith wal Ifroth). Keduanya secara bersama-sama membendung dua kecenderungan ekstrimitas dalam pemikiran Islam yang melanda kala itu. Kalaupun keduanya kadang ada perbedaan pendapat, itu hanyalah dalam hal yang menyangkut masalah cabang dan detailitas semata.  

Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tathhirul Janan wal Lisan berkata, Jika dikatakan siapakah yang dimaksud Ahlissunnah, maka yang dimaksud adalah para pengikut Abil Hasan al-Asy’ari dan Abi Manshur al-Maturidi. Keduanya adalah pelopor gerakan Ahlussunnah wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid. Bahkan Ibnu Taimiyah mengakui akan jasa golongan Asy’ariyah dalam rangka menyelamatkan sendi-sendi ajaran Islam, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Fatawi-nya dari pernyataan Abu Muhammad al-Juwaini, “Para Ulama’ adalah penolong ilmu-ilmu agama, sedangkan Asya’iroh adalah para penolong ushuluddin”.

Sumber. Risalah NU, Fiqh Tradisional (KH. Muhyiddin Abdusshomad). Pegangan Praktis Faham Ahlussunnah wal Jama’ah (PP LDNU), Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia. Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlotul Ulama, dll.

Diberdayakan oleh Blogger.