Kehidupan yang Bukan Hitam Putih
Oleh : Dr. KH. Abdul Ghofur MZ.
“Nang dunyo iki
ora ono sing satus persen penak. Ono wae seng ndadikno ganjel. Yen kepingin
penak lan pas kabeh suk nang suwargo. Urip nang dunyo kudu wani lan iso
ngempet!”
ngendikane Mahaguru.
“Di dunia ini gak
ada yang enak seratus persen. Selalu ada yang mengganjal. Kalau kepingin enak
dan pas semua maka itu nanti di sorga. Berani hidup di dunia berarti berani dan
bisa ngempet (menahan diri).”
Banyak yang
menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW. menjalani kehidupan yang serba ideal, yang
semuanya serba pas. Namun sebetulnya pandangan ini tidaklah tepat. Hakikat
kehidupan bukan memilih yang serba terang tapi mencermati dan memilih secara
tepat yang abu-abu. Kualitas seseorang lebih ditentukan ketika menghadapi
persoalan besar dan rumit yang tiap pilihannya mengandung unsur baik dan unsur
tidak baik. Sebaliknya, mereka yang tak berkualitas selalu menentukan pilihan
secara radikal. Dalam pandangan kelompok ini hanya ada A atau B, hanya ada baik
seratus persen dan buruk seratus persen. Kalau tidak kafir berarti mukmin,
kalau tidak Islam berarti kufur. Jika Indonesia tidak Islam berarti Indonesia
Kapir! Jika tidak NU berarti Muhammadiyah, atau jika Muhammadiyah berarti tidak
NU! Orang-orang seperti ini kesulitan memahami bahwa Indonesia bukan negara Islam
dan juga bukan negara kafir.
Pada awal Islam
pandangan radikal demikian ditampilkan oleh kelompok Khawarij. Abdur Razzaq dan
Thabari meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa dia berkunjung ke markas Khawarij.
“Katakan padaku
apa gerangan yang menjadikan kalian semua mendendam kepada sepupu, menantu, dan
sekaligus orang pertama yang iman kepada Rasulullah, sementara para sahabat
justeru berada dipihaknya?” Ibn Abbas mengajukan pertanyaan kepada mereka.
“Kami mendendam
kepada dia (Imam Ali) karena tiga hal.”
“Apakah itu?”
“Pertama: dia ber-tahkim kepada manusia
dalam urusan agama Allah, sementara Allah telah berfirman “inil hukmu illaa lillaah”,
(hukum itu hanyalah
kepunyaan Allah).”
“Lalu apa lagi?”
Ibn Abbas melanjutkan pertanyaan.
“Dia berperang
tapi tidak mencaci dan menjarah. Jika mereka (musuh-musuh politik Imam Ali ra.)
kafir maka harta mereka halal, dan jika mereka mukmin maka darah mereka haram.”
“Lalu apa lagi?”
“Dia mengapus
dirinya sendiri dari status Amirul
Mukminin. Jika dia tidak (lagi) Amirul
Mukminin berarti dia Amirul
Kafirin.
Tiga gugatan ini
adalah sikap yang amat radikal. Dalam pandangan mereka hanya ada kebaikan
seratus persen. Jika tidak maka berarti buruk. Ibn Abbas ketika memasuki markas
mereka menjumpai kaum ekstrim dalam menjalankan apa yang mereka anggap sebagai
kebaikan. Tangan mereka kasar dan kering karena bekerja dan jidat mereka
melepuh bekas sujud. “Saya tidak pernah menjumpai satu kaum yang ijtihadnya
melebihi mereka,” kata Ibn Abbas. Mereka tampaknya menganggap bahwa manusia harus
seperti mereka. Jika tidak demikian maka berarti sudah keluar dari Islam.
Gugatan pertama
menunjukkan kegagalan mereka melihat adanya hukum yang di satu sudut adalah
hukum Tuhan dan di sudut yang lain adalah hukum manusia seperti kebanyak
hukum-hukum fikih hasil ijtihad para ulama. Hukum fikih adalah
hukum Tuhan karena sumbernya adalah firman-firman Allah dan sunnah Nabinya, dan
karena dalam perumusannya mendasarkan pada niat mencari hukum Tuhan. Tapi ia
juga hukum manusia karena merupakan hasil dari olah pikir. Imam Syafii bahkan
menyebutnya sebagai ra’y,
pendapat, yang dia sandarkan pada dirinya sendiri: “pendapatku adalah benar yang mungkin salah dan
pendapat orang lain adalah salah yang mungkin benar.”
Ibn Abbas atas
gugatan pertama ini mengatakan: Anggapan kalian bahwa dia (Imam Ali) telah
bertahkim kepada manusia, maka sesungguhnya Allah membenarkan itu. Allah
berkata: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di
antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan
binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut
putusan dua orang yang adil di antara kamu.” QS.
Al-Maidah/5: 95. Dan Allah juga
berkata mengenai perselisihan antara seorang perempuan dan suaminya: “Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.”
QS. An-Nisaa/4: 35. Demi Allah jawablah pertanyaanku! Apakah berhukum kepada manusia
demi menjaga darah umat Islam dan jiwanya dan demi terciptanya kedamaian di
antara mereka lebih haq ataukah berhukum kepada manusia dalam urusan kelinci
yang harganya (cuma) seperempat dirham?
Gugatan kedua, yaitu
bahwa Ali berperang tapi (kenapa) tidak mencaci dan tidak menjarah, adalah
kegagalan melihat bahwa kerumitan hidup di dunia kadang mengharuskan untuk
memerangi kelompok yang agamnya Islam. Bahkan mungkin di
antara mereka terdapat orang-orang yang baik dan saleh. Situasi yang
mengharuskan untuk berperang, maka tak perlu ada cacian apalagi penjarahan.
Khawarij secara simpel berlogika: jika mereka diperangi berarti mereka talah
keluar dari Islam dan karenanya harus dimaki dan dijarah hartanya.
Ibn Abbas ra.
menjawab: gugatan kalian bahwa Ali berperang dan tidak mencaci dan menjarah,
karena diantara lawan-lawan Imam Ali terdapat Bunda Aisyah. Apa kalian hendak
mencaci Ibunda Aisyah? Atau kalian bahkan menganggap halal terhadap Bunda
Aisyah segala apa yang kalian anggap halal terhadap yang lain? Jika kalian
berprasangka demikian maka kalian telah kafir. Jika kalian menganggap bahwa Ibu
Aisyah bukan ibu kalian maka kalian juga telah kafir. Allah telah berfirman: “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya
adalah ibu-ibu mereka.” QS.
Al-Ahzab/33: 6.
Gugatan ketiga,
bahwa jika Imam Ali mengapus dirinya sendiri dari status Amirul Mukminin maka berarti sekarang dia Amirul Kafirin, adalah
siplifikasi yang ekstrim. Keruwetan politik tidak bisa disikapi dengan logika
ekstrim semacam ini. Salah satu esensi politik adalah kesiapan bernegoisasi
dengan kepentingan-kepentingan yang lain. Sikap ekstrim hanya akan melahirkan
kebuntuan dan dipastikan akan berujung kepada angkat senjata atau undur diri
dari gelanggang. Imam Ali rela berunding dengan Muawiyah—dengan keharusan
tampak seperti berkedudukan yang sama—karena itu, dalam pandangannya,
satu-satunya jalan terbaik demi menjaga darah umat Islam.
Ibn Abbas
menjawab: Gugatan kalian, bahwa Imam Ali telah menghapus dirinya sendiri dari
status Amirul Mukminin, ada
contohnya dalam diri Rasulullah SAW. Rasulullah pada perang Hudaibiyah
mengundang kaum Quraisy untuk menulis perjanjian di antara mereka. Kata
Rasulullah: “tulis: ini
adalah keputusan Muhammad
utusan Allah.”
Orang-orang
Quraisy protes: “jika kami meyakini bahwa engkau adalah utusan Allah maka kami tidak akan
menghalangimu dari baitullah dan kami juga tidak akan memerangimu. Tapi
tulislah: Muhammad bin Abdullah.”
Nabi Muhammad lalu
berkata: “Demi Allah, saya adalah utusan Allah
meski kalian membohongkan itu. Tulislah wahai
Ali: Muhammad bin Abdullah.”
pontianak, untuk
kehidupan yang lebih manusiawi ..
Post a Comment