Harlah Nahdlatul Ulama Ke-90, NU Mesir Gelar Diskusi Umum: “Peran NU Terhadap Sektarian di Timur Tengah”
LDNU Mesir membuka agenda dengan
khataman al-Quran dan istighotsah, yang dipimpin oleh kang Ali Irham
(Senior JQH NU Mesir). Setelah pembawa acara membuka ceremonial, acara
selanjutnya adalah sambutan-sambutan. Nurul Ahsan selaku Ketua
Tanfidziyah PCINU Mesir menyampaikan sambutannya. Ia mengatakan bahwa
agenda ini adalah symbol dibukanya aktivitas organisasi PCINU Mesir,
setelah vakum selama masa-masa ujian al-Azhar. Pun, PCINU Mesir bersedia
memfasilitasi kegiatan teman-teman yang belum bisa mengikuti ujian
al-Azhar pada tahun ini. Salahsatunya adalah kegiatan tulis-menulis pada
Lembar Jumat BEDUG.
Ahsan sedikit membahas latar belakang
tema diskusi. Ia mengungkap sebagian konflik yang ada di Timteng, yang
kebanyakan dilatarbelakangi diantaranya oleh faham keagamaan, cara
bersikap, bahkan perbedaan pandangan politik. Ahsan bersyukur karena di
Indonesia tidak terjadi konflik semacam ini. Itu semua berkat eksistensi
jam’iyyah Nahdlatul Ulama, “Itu sebabnya, alhamdulillah di Indonesia
kita mempunyai Nahdlatul Ulama dan tentunya kita alhamdulillah mempunyai
Muhammadiyah, dua ormas besar di Indonesia yang menjadi tiang di
Indonesia. Hingga Indonesia bisa eksis hingga sekarang, karena latar
belakang peran dua organisasi besar ini.”, tutur Ahsan.
Rois Syuriah KH. Muhlason Jalaludin,
dalam sambutannya membahas bahwa tema diskusi ini cukup menjadi
‘trending topic’. Beliau pun turut bersyukur akan ihwal persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia. “Hal yang patut kita syukuri, Indonesia
sebagai negara yang memiliki beribu-ribu kepulauan, dan mereka (timur
tengah -red) pulaunya hanya bisa dihitung pakai jari, tapi persatuan ada
di Indonesia dan sebagai umat islam kita adalah yang paling berperan
untuk menyatukan umat islam di Indonesia.”, paparnya.
“Semoga dengan adanya dialog ini akan
memberikan angin segar, dan kita bisa banyak belajar dari konflik yang
ada di timur tengah ini agar tidak terjadi di Indonesia. Kita sebagai
warga NU akan terus mendukung untuk upaya-upaya persatuan di Indonesia,
dan melakukan upaya sedini mungkin dari berbagai kemungkinan konflik
antar kelompok, antar suku dan antara agama di Indonesia. Dan setelah
adanya dialog ini, perlu adanya forum khusus mengkaji tentang timur
tengah. Sehingga sebagai alumni timur tengah kita mempunyai nilai plus
untuk mengetahui apa yang terjadi di timur tengah”, tutup sang Rois
Syuriyah mengakhiri sambutannya.
Nora Burhanuddin bertindak sebagai
moderator memimpin jalannya diskusi umum “Peran NU Terhadap Konflik
Srktarian di timur tengah”, dengan KH. Aunul Abid Syah, KH. Murtadlo
Bisyri dan Bpk. Harun Syaifullah sebagai narasumber diskusi tersebut.
“NU sejak 90 tahun yang lalu telah
didirikan dari inisiatif oleh para kiai, yang memiliki peran tidak hanya
bagi umat islam di Indonesia, tapi juga memiliki peran terhadap dunia.
Dari proses berdirinya, NU sebagai reaksi dari konflik yang telah
terjadi di dunia timur tengah. Jadi jika membahas konflik tentunya
menjadi hal yang biasa, tapi yang penting itu isinya, apa yang bisa NU
ketengahkan dalam masyarakat Islam pada umumnya.”, Nora membuka diskusi.
Aunul Abid Syah sebagai narasumber
mengawali diskusi dengan berkisah tentang Gusdur. “Karena munasabahnya
untuk Haul Gusdur, 6 tahun yang lalu ketika beliau wafat saya sedang di
Jakarta. Saat aktif di lembaga kelompok kajian, ada beberapa sahabat
kami di situ salah satunya Pak Mulyadi, aktifitas HMI, dan Abdullah
Darraz, sekretaris Maarif Center. Dari awal sampai akhir, saya dan
Darraz yang merupakan aktifis Muhammadiyah pulang pergi ke Ciganjur dari
Ciputat untuk menghadiri Tahlilan sampai malam ke-7 berhujan-hujan naik
sepeda motor, juga menghadiri peringatan 40 hari Gusdur. Sebenarnya
bukan untuk mendoakan beliau. Gusdur itu wali, yang terjadi adalah
kami-kami ini ngambri, meminta, memohon, mengharap cipratan Gusdur.
Bahkan sepanjang perjalanan, kawan saya dari aktivis Budha menangis
tersedu-sedu menangisi kepergian Gusdur, kepergian seorang pelindung
kaum minoritas. Ia merasa dibela hak hidupnya, dibela dalam tatanan
kesatuan RI.”, kenangnya mengisahkan hari-hari wafatnya sang guru
bangsa.
“Pelajaran yang ingin diajarkan Gusdur,
tentang kita sebagai orang Indonesia kalau ingin berkiprah di dunia
Internasional: harus percaya diri!” ujar sang kiai mengakhiri
pembicaraan.
Narasumber kedua, KH. Murtadlo Bisyri,
memulai pembicaraan dengan mengajak warga NU untuk memperluas wawasan
ke-NU-annya. “Warga NU harus percaya diri, jangan sekedar tahu wilayah
kampung tapi juga mengetahui bahwa NU telah banyak berperan dalam
menuntaskan konflik dan proyek yang mendunia. Pada masa awal, NU telah
banyak melakukan upaya dengan membentuk komite Hijaz sebagai rujukan
untuk menerima perbedaan mazhab dan penetapan proses bagi jamaah haji,
yang diketuai oleh Kiai Wahab Hasbullah.”, terang sang kiai.
Kiai Murtadlo memasuki tema diskusi
dengan menyebutkan beberapa peran penting NU terhadap insiden-insiden
dunia. “Pada masa Gusdur (1984 – 1999), banyak ilmuwan luar ngeri yang
meneliti NU, kemudian NU diperkenalkan ke dunia luar. Sedangkan pada
zaman KH. Hasyim Muzadi (1999 – 2010), kiai Hasyim melanjutkan
perjuangan NU dengan membentuk ICIS dan merangkul diplomat untuk
pembentukannya. Saat terjadi insiden gedung WTC, NU berperan sebagai
mediator, dan banyaknya konferensi terkait mewujudkan kedamaian dunia
(rahmatan lil alamin) yang diadakan oleh ICIS.”, ungkapnya.
Kiai Murtadlo pun mengungkapkan apa yang
telah ditegaskan oleh Kang Said bahwa NU telah mampu menanggulangi
konflik di Afganistan, dan menghasikan berbagai kesepakatan.
Narasumber selanjutnya, Bpk. Harus
Syaifullah, mengawali bicaranya dengan menyebutkan kebanggaan terhadap
NU atas jam’iyyah lainnya. “NU sebagai jam’iyyah terbesar, yang menurut
persentasi bahwa 70% warga negara Indonesia adalah warga NU. Adapun
jam’iyyah Muhammadiyah telah mengalami penurunan.”, tuturnya.
Selanjutnya, Bpk. Harun membandingkan
antara Indonesia dengan negara lainnya khususnya timur tengah terkait
kemungkinan konflik. “Kalau Indonesia tidak penting, tidak mungkin acara
konferensi ulama akan diadakan di Indonesia. Australia sebagai negara
tetangga yang berdampingan dengan mayoritas ulama terbesar namun tetap
aman. Indonesia tidak berbasis sekterianisme, berbeda dengan timur
tengah. Namun ada sebagian orang yang bilang, bahwa Jika tidak
memasukkan dimensi Sunni – Syiah, maka tidak akan terlihat seksi. Dan
itulah ihwal yang mudah menyulut konflik di Indonesia. Indonesia
merupakan lahan subur dan objek dari berbagai aliran. Dan imbas atas
konflik timur tengah tersebut, sudah ada di Indonesia.”, terangnya lagi.
“ICIS 2007 mencetuskan bahwa ulama tidak
ada lintas batasnya dalam bergerak untuk kemaslahatan, apalagi demi
meredam konflik. Syeikh Ahmad Thayyeb, Grand Syeikh al-Azhar,
mencetuskan perkumpulan ulama dunia sebagai penanggulangan berbagai
konflik yang terjadi di dunia. Kita perjuangkan nilai-nilai kemoderatan
dan keharmonisan. Sebagai warga NU kita harus bangga. Namun perlu
diperhatikan bahwa konflik teologi ialah konflik tajam. Kehati-hatian
yang perlu diteguhkan untuk meneguhkan prinsip. Dan kita perlu
mempersiapkan propaganda baik dari media, pakai untuk memfilter dan
menjaga diri.”, lanjutnya.
Bpk. Harun pun menutup pembicaraannya
dengan nasihat untuk Masisir. “Jangan pernah berhenti untuk belajar dan
membaca. Bangsa Indonesia ialah bangsa yang ruwet dengan urusannya
sendiri dan tidak melihat negara lain. Bangsa yang besar ini harus
dirawat dan diperlukan upaya untuk berpikir besar. Bersiaplah untuk
menghadapi tantangan selanjutnya.”
“NU seperti al-Azhar yang selau berada
di tengah. Kiai Hasyim Muzadi pernah mengungkapkan bahwa pendekatan NU
adalah dengan tasamuh, dan ilmu yang disampaikan, dengan metodologi yang
benar. Prinsip NU, tidak ingin mengeluarkan orang lain (konsep
takfiri). Dan saya mengusulkan adanya lembaga yang mengkaji timur tengah
di PBNU.”, Kiai Murtadlo menutup diskusi pada malam itu.
Diskusi usai, masing-masing narasumber
kemudian diberikan piagam penghargaan oleh Tanfidziyah PCINU Mesir.
Acara dilanjutkan dengan pembacaan monolog Gusdur oleh Ilman Abdul
Halim, pembacaan bait-bait syair Nahdlatul Ulama oleh Sutrisno Dahlan,
ditutup dengan doa, hadirin kemudian menikmati makan malam bersama.
Penulis: Neng Siti Khoiriyah
Editor: Mohamad Hadi Bakri
Post a Comment