header ads

Harlah Nahdlatul Ulama Ke-90, NU Mesir Gelar Diskusi Umum: “Peran NU Terhadap Sektarian di Timur Tengah”

Kairo-Numesir.net— Harlah NU di seantero dunia diperingati dengan berbagai euforianya. PCINU Mesir dalam hal ini turut pula memperingati Harlah NU, dibarengi dengan Haul Gus Dur dan Mbah Sahal, dengan diskusi umum dengan tema “Peran NU Terhadap Sektarian di Timur Tengah”, dan berbagai acara lainnya yang meriah. Agenda tersebut telah dilaksanakan pada Rabu, 3 Februari 2016 di auditorium Rumah Limas, Nasr City, Kairo – Mesir.

LDNU Mesir membuka agenda dengan khataman al-Quran dan istighotsah, yang dipimpin oleh kang Ali Irham (Senior JQH NU Mesir). Setelah pembawa acara membuka ceremonial, acara selanjutnya adalah sambutan-sambutan. Nurul Ahsan selaku Ketua Tanfidziyah PCINU Mesir menyampaikan sambutannya. Ia mengatakan bahwa agenda ini adalah symbol dibukanya aktivitas organisasi PCINU Mesir, setelah vakum selama masa-masa ujian al-Azhar. Pun, PCINU Mesir bersedia memfasilitasi kegiatan teman-teman yang belum bisa mengikuti ujian al-Azhar pada tahun ini. Salahsatunya adalah kegiatan tulis-menulis pada Lembar Jumat BEDUG.

Ahsan sedikit membahas latar belakang tema diskusi. Ia mengungkap sebagian konflik yang ada di Timteng, yang kebanyakan dilatarbelakangi diantaranya oleh faham keagamaan, cara bersikap, bahkan perbedaan pandangan politik. Ahsan bersyukur karena di Indonesia tidak terjadi konflik semacam ini. Itu semua berkat eksistensi jam’iyyah Nahdlatul Ulama, “Itu sebabnya, alhamdulillah di Indonesia kita mempunyai Nahdlatul Ulama dan tentunya kita alhamdulillah mempunyai Muhammadiyah, dua ormas besar di Indonesia yang menjadi tiang di Indonesia. Hingga Indonesia bisa eksis hingga sekarang, karena latar belakang peran dua organisasi besar ini.”, tutur Ahsan.

Rois Syuriah KH. Muhlason Jalaludin, dalam sambutannya membahas bahwa tema diskusi ini cukup menjadi ‘trending topic’. Beliau pun turut bersyukur akan ihwal persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. “Hal yang patut kita syukuri, Indonesia sebagai negara yang memiliki beribu-ribu kepulauan, dan mereka (timur tengah -red) pulaunya hanya bisa dihitung pakai jari, tapi persatuan ada di Indonesia dan sebagai umat islam kita adalah yang paling berperan untuk menyatukan umat islam di Indonesia.”, paparnya.

 “Semoga dengan adanya dialog ini akan memberikan angin segar, dan kita bisa banyak belajar dari konflik yang ada di timur tengah ini agar tidak terjadi di Indonesia. Kita sebagai warga NU akan terus mendukung untuk upaya-upaya persatuan di Indonesia, dan melakukan upaya sedini mungkin dari berbagai kemungkinan konflik antar kelompok, antar suku dan antara agama di Indonesia. Dan setelah adanya dialog ini, perlu adanya forum khusus mengkaji tentang timur tengah. Sehingga sebagai alumni timur tengah kita mempunyai nilai plus untuk mengetahui apa yang terjadi di timur tengah”, tutup sang Rois Syuriyah mengakhiri sambutannya.

Nora Burhanuddin bertindak sebagai moderator memimpin jalannya diskusi umum “Peran NU Terhadap Konflik Srktarian di timur tengah”, dengan KH. Aunul Abid Syah, KH. Murtadlo Bisyri dan Bpk. Harun Syaifullah sebagai narasumber diskusi tersebut.

“NU sejak 90 tahun yang lalu telah didirikan dari inisiatif oleh para kiai, yang memiliki peran tidak hanya bagi umat islam di Indonesia, tapi juga memiliki peran terhadap dunia. Dari proses berdirinya, NU sebagai reaksi dari konflik yang telah terjadi di dunia timur tengah. Jadi jika membahas konflik tentunya menjadi hal yang biasa, tapi yang penting itu isinya, apa yang bisa NU ketengahkan dalam masyarakat Islam pada umumnya.”, Nora membuka diskusi.

Aunul Abid Syah sebagai narasumber mengawali diskusi dengan berkisah tentang Gusdur. “Karena munasabahnya untuk Haul Gusdur, 6 tahun yang lalu ketika beliau wafat saya sedang di Jakarta.  Saat aktif di lembaga kelompok kajian, ada beberapa sahabat kami di situ salah satunya Pak Mulyadi, aktifitas HMI, dan Abdullah Darraz, sekretaris Maarif Center. Dari awal sampai akhir, saya dan Darraz yang merupakan aktifis Muhammadiyah pulang pergi ke Ciganjur dari Ciputat untuk menghadiri Tahlilan sampai malam ke-7 berhujan-hujan naik sepeda motor, juga menghadiri peringatan 40 hari Gusdur. Sebenarnya bukan untuk mendoakan beliau. Gusdur itu wali, yang terjadi adalah kami-kami ini ngambri, meminta, memohon, mengharap cipratan Gusdur. Bahkan sepanjang perjalanan, kawan saya dari aktivis Budha menangis tersedu-sedu menangisi kepergian Gusdur, kepergian seorang pelindung kaum minoritas. Ia merasa dibela hak hidupnya, dibela dalam tatanan kesatuan RI.”, kenangnya mengisahkan hari-hari wafatnya sang guru bangsa.

“Pelajaran yang ingin diajarkan Gusdur, tentang kita sebagai orang Indonesia kalau ingin berkiprah di dunia Internasional: harus percaya diri!” ujar sang kiai mengakhiri pembicaraan.

Narasumber kedua, KH. Murtadlo Bisyri, memulai pembicaraan dengan mengajak warga NU untuk memperluas wawasan ke-NU-annya. “Warga NU harus percaya diri, jangan sekedar tahu wilayah kampung tapi juga mengetahui bahwa NU telah banyak berperan dalam menuntaskan konflik dan proyek yang mendunia. Pada masa awal, NU telah banyak melakukan upaya dengan membentuk komite Hijaz sebagai rujukan untuk menerima perbedaan mazhab dan penetapan proses bagi jamaah haji, yang diketuai oleh Kiai Wahab Hasbullah.”, terang sang kiai.

Kiai Murtadlo memasuki tema diskusi dengan menyebutkan beberapa peran penting NU terhadap insiden-insiden dunia. “Pada masa Gusdur (1984 – 1999), banyak ilmuwan luar ngeri yang meneliti NU, kemudian NU diperkenalkan ke dunia luar. Sedangkan pada zaman KH. Hasyim Muzadi (1999 – 2010), kiai Hasyim melanjutkan perjuangan NU dengan membentuk ICIS dan merangkul diplomat untuk pembentukannya. Saat terjadi insiden gedung WTC, NU berperan sebagai mediator, dan banyaknya konferensi terkait mewujudkan kedamaian dunia (rahmatan lil alamin) yang diadakan oleh ICIS.”, ungkapnya.

Kiai Murtadlo pun mengungkapkan apa yang telah ditegaskan oleh Kang Said bahwa NU telah mampu menanggulangi konflik di Afganistan, dan menghasikan berbagai kesepakatan.

Narasumber selanjutnya, Bpk. Harus Syaifullah, mengawali bicaranya dengan menyebutkan kebanggaan terhadap NU atas jam’iyyah lainnya. “NU sebagai jam’iyyah terbesar, yang menurut persentasi bahwa 70% warga negara Indonesia adalah warga NU. Adapun jam’iyyah Muhammadiyah telah mengalami penurunan.”, tuturnya.

Selanjutnya, Bpk. Harun membandingkan antara Indonesia dengan negara lainnya khususnya timur tengah terkait kemungkinan konflik. “Kalau Indonesia tidak penting, tidak mungkin acara konferensi ulama akan diadakan di Indonesia. Australia sebagai negara tetangga yang berdampingan dengan mayoritas ulama terbesar namun tetap aman. Indonesia tidak berbasis sekterianisme, berbeda dengan timur tengah. Namun ada sebagian orang yang bilang, bahwa Jika tidak memasukkan dimensi Sunni – Syiah, maka tidak akan terlihat seksi. Dan itulah ihwal yang mudah menyulut konflik di Indonesia. Indonesia merupakan lahan subur dan objek dari berbagai aliran. Dan imbas atas konflik timur tengah tersebut, sudah ada di Indonesia.”, terangnya lagi.

“ICIS 2007 mencetuskan bahwa ulama tidak ada lintas batasnya dalam bergerak untuk kemaslahatan, apalagi demi meredam konflik. Syeikh Ahmad Thayyeb, Grand Syeikh al-Azhar, mencetuskan perkumpulan ulama dunia sebagai penanggulangan berbagai konflik yang terjadi di dunia. Kita perjuangkan nilai-nilai kemoderatan dan keharmonisan. Sebagai warga NU kita harus bangga. Namun perlu diperhatikan bahwa konflik teologi ialah konflik tajam. Kehati-hatian yang perlu diteguhkan untuk meneguhkan prinsip. Dan kita perlu mempersiapkan propaganda baik dari media, pakai untuk memfilter dan menjaga diri.”, lanjutnya.

Bpk. Harun pun menutup pembicaraannya dengan nasihat untuk Masisir. “Jangan pernah berhenti untuk belajar dan membaca. Bangsa Indonesia ialah bangsa yang ruwet dengan urusannya sendiri dan tidak melihat negara lain. Bangsa yang besar ini harus dirawat dan diperlukan upaya untuk berpikir besar. Bersiaplah untuk menghadapi tantangan selanjutnya.”

“NU seperti al-Azhar yang selau berada di tengah. Kiai Hasyim Muzadi pernah mengungkapkan bahwa pendekatan NU adalah dengan tasamuh, dan ilmu yang disampaikan, dengan metodologi yang benar. Prinsip NU, tidak ingin mengeluarkan orang lain (konsep takfiri). Dan saya mengusulkan adanya lembaga yang mengkaji timur tengah di PBNU.”, Kiai Murtadlo menutup diskusi pada malam itu.

Diskusi usai, masing-masing narasumber kemudian diberikan piagam penghargaan oleh Tanfidziyah PCINU Mesir. Acara dilanjutkan dengan pembacaan monolog Gusdur oleh Ilman Abdul Halim, pembacaan bait-bait syair Nahdlatul Ulama oleh Sutrisno Dahlan, ditutup dengan doa, hadirin kemudian menikmati makan malam bersama.


Penulis: Neng Siti Khoiriyah
Editor: Mohamad Hadi Bakri
Diberdayakan oleh Blogger.