Zaid Bin Haritsah Ra. (Berjuang sampai akhir hayat)
Keluarga Zaid bin Haritsah hanyalah keluarga Arab biasa, yang ketika itu
sedang mengunjungi kerabatnya di kampung Kabilah Bani Ma'an, dan Zaid kecil
diajak serta. Takdir Allah menghendaki akan mengangkat
derajadnya setinggi-tingginya, tetapi melalui jalan musibah. Tiba-tiba
sekelompok perampok badui menjarah perkampungan Bani Ma’an tersebut, harta
bendanya dikuras habis dan sebagian penduduknya ditawan untuk dijual sebagai
budak, termasuk di antaranya adalah Zaid bin Haritsah.
Zaid bin Haritsah yang masih kecil itu dijual di pasar Ukadz di Makkah, ia
dibeli oleh Hakim bin Hizam. Oleh Hakim, ia diberikan
kepada bibinya, Khadijah binti Khuwailid, yang tak lain adalah istri Nabi SAW,
dan akhirnya ia diberikan kepada Nabi SAW untuk menjadi khadam (pelayan)
beliau. Walau saat itu Nabi SAW belum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, tetapi
pendidikan yang diperoleh Zaid dari beliau merupakan pendidikan berbasis akhlak
mulia, didikan yang berbasis kenabian yang menaikkan derajadnya, dan
mengantarnya menjadi salah seorang kelompok sahabat as sabiqunal awwalin.
Ketika ayahnya, Haritsah mendengar kabar bahwa putranya dimiliki oleh
seorang keluarga bangsawan Quraisy di Makkah, ia bergegas mengumpulkan harta
semampunya untuk menebusnya dari perbudakan. Ia
mengajak saudaranya untuk menemaninya ke Makkah. Sesampainya di Makkah, ia
menemui Nabi SAW dan berkata, "Kami datang kepada anda untuk meminta anak
kami, kami mohon anda bersedia mengembalikannya kepada kami dan menerima uang
tebusan yang tidak seberapa banyaknya ini!!"
"Tidak
harus seperti itu," Kata Nabi SAW, "Biarlah ia memilih sendiri. Jika
ia memilih anda, saya akan mengembalikannya kepada anda tanpa tebusan apapun.
Tetapi jika ia memilih saya, maka saya tidak bisa menolak orang yang dengan
sukarela mengikuti saya…!"
Nabi SAW
menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Sementara itu tampak kegembiraan
Haritsah dengan penjelasan beliau. Ia akan meperoleh kembali anaknya tanpa
tebusan apapun, begitu pikirnya. Ketika Zaid telah datang, beliau berkata
kepadanya, "Tahukah engkau, siapa dua orang ini?"
"Ya,
saya tahu," Kata Zaid, "Yang ini ayahku, satunya lagi adalah
pamanku…"
Nabi SAW
menjelaskan permintaan ayahnya, dan juga tentang pilihan yang beliau berikan
kepadanya. Tanpa berfikirpanjang, Zaid berkata, "Tak ada pilihanku kecuali
anda, andalah ayahku, dan andalah juga pamanku…!"
Mendengar
jawaban Zaid ini ayah dan pamannya terkejut, tetapi Nabi SAW tampak berlinang
air mata karena haru dan syukur. Beliau memang sangatmenyayanginya seperti anak
sendiri, sehingga bagaimanapun secara manusiawi, beliau akan merasa kehilangan
jika Zaid memutuskan untuk kembali kepada keluarganya sendiri. Segera saja Nabi
SAW membawa Zaid ke Ka'bah dimana biasanya para pembesar Quraisy berkumpul,
kemudian beliau berkata lantang, "Saksikanlah oleh kalian semua, mulai
hari ini Zaid adalah anakku, ia ahli warisku dan aku ahli warisnya…"
Memang,
budaya Arab saat itu membenarkan mengangkat anak yang statusnya sama seperti
anak kandung. Sejak itu, Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad. Dalam
perkembangan selanjutnya ketika telah tinggal di Madinah, Al Qur'an melarang
penisbahan kecuali kepada ayah kandungnya, begitu juga anak angkat tidaklah sama
dengan anak kandung. Salahsatu cara Allah SWT ‘membongkar’ budaya jahiliah ini
adalah Nabi SAW diperintahkan menikahi atau lebih tepatnya dinikahkan dengan
janda Zaid bin Haritsah, yakni Zainab binti Jahsy, melalui firman Allah dalam
surah al Ahzab 37. Zaid sendiri kemudian dinikahkan Nabi SAW dengan Ummu
Kaltsum binti Uqbah, saudara dari Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan bin
Harb.
Mendengar
pernyataan Nabi SAW ini, Haritsah menjadi tenang, ia tidak perlu lagi
merisaukan bahwa anaknya akan terlantar atau tersiksa karena statusnya sebagai
budak. Ia kembali ke kaumnya dengan hati riang dan bangga.
Zaid bin
Haritsah menjadi kelompok pertama pemeluk Islam karena ia tinggal bersama
Rasulullah SAW. Iamenjadi orang yang ke dua (setelah Khadijah RA) atau ke tiga
(setelah Ali bin Abi Thalib) yang meyakini kenabian Nabi Muhammad SAW. Ia
begitu disayang oleh Nabi SAW, di samping karena ketinggian akhlaknya sebagai
hasil didikan beliau sendiri, kecintaannya kepada Nabi SAW juga begitu besar.
Ia rela menderita dan kesakitan demi keselamatan beliau. Hal ini tampak jelas
ketika ia mendampingi beliau menyeru penduduk Thaif untuk memeluk Islam.
Ketika Abu Thalib dan Khadijah wafat, tekanan dan siksaan yang dilakukan
oleh kaum kafir Quraisy makin meningkat, karena itu beliau berinisiatif untuk
menyeru penduduk Thaif untuk memeluk Islam. Kalau
berhasil, setidaknya bisa mengurangi dan menghambat tekanan kaum Quraisy,
karena Bani Tsaqif yang mendiami kota Thaif adalah kabilah yang cukup kuat.
Beliau menempuh jarak sekitar 90 atau 100 km dengan berjalan kaki, hanya berdua
dengan Zaid bin Haritsah.
Selama
sepuluh hari tinggal di Thaif ternyata tidak ada seorangpun yang menyambut
seruan beliau. Bahkan akhirnya mereka mengusir beliau dari Kota Thaif. Tidak
cukup itu, mereka mengumpulkan beberapa orang jahat dan para budakmengerumuni
beliau, membentuk dua barisan di kanan kiri jalan, dan mereka mencaci maki
serta melemparkan batu kepada mereka berdua. Zaid bin Haritsah mati-matian
melindungi Nabi SAW dari serangan lemparan batu tersebut. Tak terkira luka-luka
di kepala dan tubuhnya, karena mereka terus melakukan serangan batu tersebut
sepanjang 4,5 km (3 mil) perjalanan, sampai Nabi SAW dan Zaid masuk dan
berlindung ke dalam kebun milik Utbah bin Rabiah dan Syaibah bin Rabiah, seorang
tokoh Quraisy.
Luka mengucur
hampir dari seluruh bagian tubuh Zaid, Nabi SAW sendiri juga terluka, bahkan
salah urat di atas tumit beliau putus sehingga darah membasahi terompah beliau.
Tetapi Zaid justru lebih mengkhawatirkan luka pada kaki Nabi SAW daripada
luka-luka yang dialaminya. Persoalan belum selesai sampai di situ, kaum kafir
Quraisy dengan pimpinan Abu Jahal ternyata telah bersiap-siap menolak
Rasulullah SAW untuk memasuki Makkah, bahkan akan mengusir beliau. Zaid bin
Haritsah bertanya, "Bagaimana caranya engkau memasuki Makkah, Ya
Rasulullah, padahal mereka telah (berniat) mengusir engkau?"
"Wahai
Zaid," Kata Nabi SAW, "Sesungguhnya Allah akan menciptakan
kelonggaran dan jalan keluar dari masalah yang kita hadapi ini. Sungguh Allah
pasti akan menolong agama-Nya dan memenangkan Nabi-Nya….!"
Setelah
hijrah ke Madinah, Zaid tidak pernah terlewat berjuang bersama Rasulullah SAW.
Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq dan lain-lainnya, semua diterjuninya
tanpa kenal menyerah. Jika Nabi SAW mengirim suatu pasukan sementara beliau
sendiri tidak mengikutinya, pastilah Zaid yang ditunjuk sebagai pemimpinnya.
Misalnya perang al Jumuh, at Tharaf, al Ish, al Hismi dan beberapa peperangan
lainnya.
Tibalah
pertempuran Mu'tah, sebuah pertempuran tidak berimbang antara pasukan muslim
yang hanya 3.000 orang melawan pasukan Romawi dan sekutunya sebanyak 200.000
orang. Pemicu pertempuran ini adalah terbunuhnya utusan Nabi SAW ke Bushra,
Harits bin Umair RA oleh Syurahbil bin Amr, pemimpin Balqa yang berada di bawah
kekuasaan kaisar Romawi. Pasukan muslim 3.000 orang saat itu adalah yang
terbesar yang pernah dipersiapkan beliau, dan beliau tidak pernah menyangka
bahwa pasukan Romawi akan menghadapinya dengan prajurit sebanyak itu. Tetapi
seperti memperoleh pandangan ke depan (vision), beliau menunjuk tiga orang
sebagai komandan secara berturutan, pertama Zaid bin Haritsah, kedua Ja'far bin
Abi Thalib dan ketiga Abdullah bin Rawahah.
Ketika
pasukan tiba di Mu'an, tidak jauh dari Mu'tah, mereka baru memperoleh informasi
bahwa pasukan Romawi sebanyak 200.000 orang. Mereka bermusyawarah tentang jalan
terbaik, sebab kalau nekad bertempur, sama saja dengan bunuh diri. Setelah
banyak pendapat yang masuk, diputuskan untuk memberitahukan Nabi SAW jumlah
pasukan yang harus dihadapi. Setelah itu terserah petunjuk beliau, apa akan
terus melawan? Menunggu bantuan? Atau apa nanti, terserah perintah Nabi SAW.
Tetapi
pendapat tersebut ditentang oleh komandan lapis ke tiga, Abdullah bin Rawahah.
Menurutnya, pertempuran ini adalah karena Allah dan Agama-Nya, bukan karena
jumlah pasukan yang dihadapinya. Rasulullah SAW telah memerintahkan dan tugas
mereka melaksanakannya. Apapun hasilnya adalah kebaikan semata, yakni
kemenangan, atau gugur sebagai syahid. Pendapat Ibnu Rawahah tersebut seolah
menyadarkan mereka, dan menggelorakan semangat berjihad kaum muslimin tersebut,
bukan semata-mata takut dan bunuh-diri.
Pertempuran
hebat antara 3.000 pasukan melawan 200.000 pasukan, sangat mudah diramalkan
bagaimana kesudahannya. Dan seperti "diramalkan" Nabi SAW, Zaid bin
Haritsah gugur dengan luka-luka yang tidak bisa dibayangkan bagaimana parahnya,
jauh lebih parah daripada luka-lukanya sepulang dari Thaif. Namun demikian
tampak sesungging senyum di bibirnya, karena sesungguhnya-lah ia tak sempat
melihat dan mengamati medan pertempuran. Kebun-kebun surga dan
bidadari-bidadari yang jelita seolah menyerunya untuk segera datang, sehingga
apapun dansiapapun yang menghalangi jalannya, ditebasnya habis dengan pedang
dan tombaknya. Dan ia benar-benar telah merasa gembira dan ridha ketika
tubuhnya roboh tak bergerak karena luka-luka yang dialaminya, sementara ruh-nya
terbang tinggi memenuhi panggilan kasih sayang Ilahi. “Yaa ayyatuhan nafsul
muthmainnah, irji-‘ii ilaa robbiki roodhiyatan mardhiyyah, fadhkhuuli fii
‘ibaadii, wadhkhuulii jannatii….!!”
Post a Comment