Kronologi NU Menerima Azaz Tunggal Pancasila
Ketika Orde
Baru berupaya memberangus Ormas Islam di tahun 80-an, kala itu Presiden Suharto
menerapkan peraturan Azaz Tunggal Pancasila. Yang ia harapkan, jika ada ormas
Islam yang menolaknya maka dengan mudah ‘diberhentikan’. Namun, Suharto salah prediksi,
sebab ternyata NU menerima Azaz Tunggal Pancasila, sehiangga Suharto tidak
punya alasan untuk membubarkan NU.
NU menerima
Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 adalah sebagai strategi untuk
menjalankan ajaran Islam secara merdeka bagi umat Islam di Indonesia tanpa ada
disintegrasi bangsa, tanpa perang, tanpa kekerasan dan lainnya sebagaimana
Rasulullah Saw menerima perjanjian damai Hudaibiyah yang seolah merugikan
Islam, namun kenyataannya disanalah titik balik menyebarnya Islam tanpa perang
dan senjata.
Telah sampai riwayat dari Gus Sholahuddin, putra Kyai Mujib Ridlwan Abdullah,
beliau dari ayahnya Kyai Mujib, bahwa awalnya Kyai As’ad di masa itu tidak
menerima adanya Azaz Tunggal Pancasila. Bagi kyai pelaku sejarah NU ini, Islam
tidak bisa diganti dengan apapun termasuk dengan Pancasila. Kyai As’ad berkata
kepada Kyai Mujib: “Tidak bisa Pak Mujib. Islam tidak bisa diganti dengan Azaz
Tunggal. Kalau Suharto masih meneruskan ini, kita harus Sabil (perang), Pak
Mujib. Saya meski sudah tua begini jangan dikira takut perang. Kita turun ke
hutan lagi seperti dulu”.
Terjadi dialog
panjang antara Kyai As’ad dengan Kyai Mujib yang cenderung menerima Azaz
Tunggal Pancasila. Tidak ada argumen yang keluar dari Kyai Mujib kecuali langsung
dijawab oleh Kyai As’ad. Ketika Kyai Mujib mengeluarkan dalil al-Quran, maka
Kyai As’ad juga berdalil al-Quran, begitu pula dengan dalil hadis. Akhirnya
Kyai Mujib berkata: “Kyai, lebih berat mana NU menerima Azaz Tunggal Pancasila
dengan Rasulullah menerima Perjanjian Hudaibiyah?”. Sejak itulah kemudian Kyai
As’ad menerima Azaz Tunggal Pancasila pada Munas Alim Ulama dan Muktamar NU di
Situbondo.
عَنِ الْبَرَاءِ
- رضى الله عنه - قَالَ لَمَّا اعْتَمَرَ النَّبِىُّ -
صلى الله عليه وسلم -
فِى ذِى الْقَعْدَةِ ، فَأَبَى أَهْلُ مَكَّةَ أَنْ
يَدَعُوهُ يَدْخُلُ مَكَّةَ ، حَتَّى قَاضَاهُمْ عَلَى أَنْ يُقِيمَ بِهَا
ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَتَبُوا الْكِتَابَ كَتَبُوا ، هَذَا مَا قَاضَى
عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ .
قَالُوا لاَ نُقِرُّ بِهَذَا ، لَوْ نَعْلَمُ أَنَّكَ
رَسُولُ اللَّهِ مَا مَنَعْنَاكَ شَيْئًا ، وَلَكِنْ أَنْتَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ . فَقَالَ « أَنَا رَسُولُ اللَّهِ ، وَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ » . ثُمَّ قَالَ
لِعَلِىٍّ « امْحُ رَسُولَ اللَّهِ » .
قَالَ عَلِىٌّ لاَ وَاللَّهِ لاَ أَمْحُوكَ أَبَدًا . فَأَخَذَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الْكِتَابَ ، وَلَيْسَ يُحْسِنُ يَكْتُبُ ، فَكَتَبَ
هَذَا مَا قَاضَى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ لاَ يُدْخِلُ مَكَّةَ السِّلاَحَ
، إِلاَّ السَّيْفَ فِى الْقِرَابِ ، وَأَنْ لاَ يَخْرُجَ مِنْ أَهْلِهَا بِأَحَدٍ
، إِنْ أَرَادَ أَنْ يَتْبَعَهُ ، وَأَنْ لاَ يَمْنَعَ مِنْ أَصْحَابِهِ أَحَدًا ،
إِنْ أَرَادَ أَنْ يُقِيمَ بِهَا .
(رواه البخارى)
“Diriwayatkan
dari al-Barra’, ia berkata: Ketika Nabi Saw melakukan umrah di bulan Dzulhijjah,
maka penduduk Makkah menolak jika Nabi Masuk ke Makkah, hingga Nabi memberi
keputusan kepada mereka untuk menetap di Makkah selama 3 hari. Ketika mereka
menuliskan surat, mereka menulis: “Ini adalah keputusan Muhammad Rasulullah”.
Mereka (Kafir Quraisy) berkata: “Kami tidak mengakui dengan nama ini. Andai
kami tahu bahwa kau adalah utusan Allah, maka tentu kami tidak akan
menghalangimu sedikitpun. Tetapi kau adalah Muhammad bin Abdullah”. Nabi Saw
bersabda: “Aku adalah utusan Allah dan aku adalah Muhammad bin Abdullah”. Lalu
Nabi berkata kepada Ali: “HAPUSLAH KALIMAT RASULULLAH!” Ali berkata: “Tidak.
Demi Allah saya tidak akan menghapusmu selamanya”. Kemudian Rasulullah
mengambil kertas perjanjian, padahal beliau tidak bisa menulis, lalu beliau
menulis: “Ini adalah keputusan Muhammad bin Abdullah. Muhammad tidak akan masuk
ke Makkah dengan pedang kecuali pedang yang tertutup, tidak membawa keluar
seorangpun dari penduduk Madinah jika ia ingin mengikutinya, dan tidak melarang
seorang pun dari sahabat Nabi jika ingin menetap di Makkah” (HR al-Bukhari).
Demikian halnya dengan Indonesia, bagi ulama di kalangan NU, Pancasila
bukan agama, oleh karenanya selamanya Pancasila tidak akan menggantikan Islam.
Justru dengan NU menerima Pancasila, umat Islam di Indonesia bisa melakukan
ajaran Islam kesehariannya dengan aman, tanpa rasa takut. Umat Islam juga bisa
masuk ke wilayah provinsi atau kabupaten yang asalnya sama sekali tidak ada
Islamnya, seperti Medan, Manado, Ambon, Papua, Timor Timur (dahulu), sehingga
perlahan di daerah sana banyak yang memeluk Islam.
عَنْ أَبِي وَائِلٍ
قَالَ كُنَّا بِصِفِّينَ فَقَالَ رَجُلٌ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُدْعَوْنَ
إِلَى كِتَابِ اللَّهِ . فَقَالَ عَلِىٌّ نَعَمْ . فَقَالَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ
اتَّهِمُوا أَنْفُسَكُمْ فَلَقَدْ رَأَيْتُنَا يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ - يَعْنِى الصُّلْحَ
الَّذِى كَانَ بَيْنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَالْمُشْرِكِينَ -
وَلَوْ نَرَى قِتَالاً لَقَاتَلْنَا ، فَجَاءَ عُمَرُ فَقَالَ أَلَسْنَا عَلَى
الْحَقِّ وَهُمْ عَلَى الْبَاطِلِ أَلَيْسَ قَتْلاَنَا فِى الْجَنَّةِ
وَقَتْلاَهُمْ فِى النَّارِ قَالَ « بَلَى » . قَالَ فَفِيمَ أُعْطِى الدَّنِيَّةَ
فِى دِينِنَا ، وَنَرْجِعُ وَلَمَّا يَحْكُمِ اللَّهُ بَيْنَنَا . فَقَالَ « يَا
ابْنَ الْخَطَّابِ إِنِّى رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ يُضَيِّعَنِى اللَّهُ أَبَدًا »
. فَرَجَعَ مُتَغَيِّظًا ، فَلَمْ يَصْبِرْ حَتَّى جَاءَ أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ يَا
أَبَا بَكْرٍ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَهُمْ عَلَى الْبَاطِلِ قَالَ يَا ابْنَ
الْخَطَّابِ إِنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَلَنْ يُضَيِّعَهُ
اللَّهُ أَبَدًا . فَنَزَلَتْ سُورَةُ الْفَتْحِ (رواه البخارى)
Diriwayatkan dari Abu Wail, ia berkata: “Kami berada dalam Shiffin, ada
seseorang berkata: Apakah kamu melihat orang-orang yang diajak kembali ke
al-Quran. Lalu Ali menjawab: Ya”. Sahal bin Hunaif berkata: “Berprasangkalah
pada diri kalian. Sungguh saya melihat diri kami dalam perjanjian Hudaibiyah
yang dilakukan oleh Nabi Saw dan orang musyrikin. Jika kami berpendapat perang
maka kami akan berperang. Kemudian Umar berkata: Bukankah kita berada diatas
kebenaran dan mereka di jalan yang salah? Bukankah orang yang terbunuh diantara
kami ada di surga dan yang terbunuh dari mereka ada di neraka? Nabi menjawab:
“Ya”. Umar berkata: “Dimanakah saya meletakkan kehinaan dalam agama kita? Dan
kita kembali sebelum Allah memberi keputusan diantara kita”. Nabi Saw bersabda: “Wahai putra Khattab. Saya adalah utusan Allah. Allah
tidak akan menyia-nyiakan saya selamanya”. Umar lalu kembali dengan amarah dan
tidak bisa sabar hingga ia datang kepada Abu Bakar, Umar berkata: “Wahai Abu
Bakar, Bukankah kita berada diatas kebenaran dan mereka di jalan yang salah?”
Abu Bakar berkata: “Wahai putra Khattab. Muhammad adalah utusan Allah. Allah
tidak akan menyia-nyiakan Muhammad selamanya”. Maka turunlah surat al-Fath” (HR
al-Bukhari)
وَظَهَرَ أَنَّ رَأْيَ
النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّلْح أَتَمّ وَأَحْمَد مِنْ
رَأْيهمْ فِي الْمُنَاجَزَة (فتح الباري لابن حجر - ج 9 / ص 458)
“Telah tampak bahwa pandangan Rasulullah dalam berdamai adalah lebih
sempurna dan terpuji, daripada pendapat mereka untuk melanjutkan perang” (Fath al-Bari
9/458)
Dengan demikian, 4 Pilar kebangsaan yang telah dinyatakan final oleh NU
sebagai langkah wujudnya perdamaian di Indonesia baik antar pulau, suku dan
agama, telah sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Saw. Namun bagi
aliran yang berseberangan dengan NU, yang sebenarnya mereka belum merasakan
derita jika suatu negara telah terjadi perang agama atau perang saudara tidak
akan bisa pulih dalam waktu cepat, dan mereka belum tahu mahalnya sebuah
kedamaian, maka mereka pun akan tetap maju menyuarakan harapannya. Disinilah
mereka akan berhadapan dengan NU.
لِأَنَّ كَثِيرًا
مِنْهُمْ أَنْكَرُوا التَّحْكِيم وَقَالُوا لَا حُكْم إِلَّا لِلَّهِ ، فَقَالَ
عَلِيّ كَلِمَة حَقّ أُرِيدَ بِهَا بَاطِل ، وَأَشَارَ عَلَيْهِمْ كِبَار
الصَّحَابَة بِمُطَاوَعَةِ عَلِيّ وَأَنْ لَا يُخَالَف مَا يُشِير بِهِ لِكَوْنِهِ
أَعْلَم بِالْمَصْلَحَةِ ، وَذَكَرَ لَهُمْ سَهْل بْن حُنَيْف مَا وَقَعَ لَهُمْ
بِالْحُدَيْبِيَةِ وَأَنَّهُمْ رَأَوْا يَوْمَئِذٍ أَنْ يَسْتَمِرُّوا عَلَى
الْقِتَال وَيُخَالِفُوا مَا دُعُوا إِلَيْهِ مِنْ الصُّلْح ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّ
الْأَصْلَح هُوَ الَّذِي كَانَ شَرَعَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِيهِ (فتح الباري لابن حجر – ج 13 / ص 412)
“Sebab, kebanyakan dari mereka (Khawarij) mengingkari tahkim, mereka
berkata: “Tidak ada hukum kecuali milik Allah”. Ali berkata: “Itu adalah
kalimat yang benar, namun yang dikehendaki adalah kebatilan”. Para sahabat
senior mengisyaratkan untuk mematuhi Ali dan supaya mereka tidak menyimpang
dari Ali, karena beliau yang lebih tahu hal yang terbaik. Sahal bin Hunaif
menyebutkan kepada mereka apa yang terjadi dalam peristiwa Hudaibiyah, dan para
sahabat berpandangan supaya tetap berperang dan meninggalkan perjanjian damai.
Maka tampaklah yang terbaik yaitu opsi damai yang dilakukan oleh Nabi Saw” (Fath
al-Bari 13/412)
Bagi kami di kalangan Nahdliyin, meski para Muassis NU tidak sederajat
dengan Sayidina Ali, namun kami meyakini ulama-ulama kami di masa kemerdekaan
saat itu lebih mengerti kemaslahatan tentang bagaimana format terbaik negara
ini. Dan kita merasakan sampai kini dengan bentuk negara NKRI yang tidak sampai
mengarah kepada disintegarasi bangsa, tidak ada separatisme yang sampai
melepaskan diri dari NKRI, tidak ada pemperongkatan yang menjatuhkan
pemerintahan yang sah, tidak ada perang saudara yang tak berkesudahan dan
sebagainya. Maka sekali lagi, menerima 4 pilar Indonesia adalah jalan terbaik
mencari hidup damai dengan penduduk bangsa ini, sebagaimana telah dijalankan
oleh Rasulullah Saw dalam perjanjian damai Hudaibiyah.
Post a Comment