Haramkah Mencukur Atau Mencabut Bulu Alis Mata ?
Tampil cantik
dan menarik merupakan kodrat kewanitaan. Di era modern ini, sebagian kaum hawa
melakukan berbagai macam perawatan agar tampil cantik. Salah satu bentuk
perawatan yang ditawarkan rumah-rumah kecantikan adalah mencukur atau mencabut
bulu alis mata. Alis sebagaimana tubuh secara keseluruhan merupakan perhiasan
wajah yang Allah karuniakan kepada manusia. Karenanya kita diwajibkan merawat
perhiasan yang telah Allah berikan. Di samping perawatan kita juga harus
merapikan anugerah-Nya.
Rasulullah
SAW sebagai berikut.
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَة، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَة، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَة، وَالْمُتَنَمِّصَات وَالْمُتَفَلِّجَات لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ
Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat perempuan yang menyambung rambut, perempuan yang membantu menyambung rambut, perempuan yang menajamkan gigi, perempuan yang membantu menajamkan gigi, perempuan yang menato tubuh, perempuan yang membantu menato tubuh, perempuan yang mencabut alis, perempuan yang merenggangkan gigi demi berhias yang mana mengubah ciptaan Allah.”
Perihal hadits di atas, ada baiknya kita menyimak pandangan para ulama’ ;
1. Menurut Syekh
Ali Jum’ah Muhammad, Mufti Agung Mesir, an-namishah adalah perempuan
yang mencabut bulu alis orang lain. Sedangkan, al-mutanammishah adalah
perempuan yang menyuruh orang lain untuk mencabut bulu alisnya. “Ancaman dalam
bentuk laknat dari Allah SWT atau Rasulullah SAW atas suatu perbuatan tertentu
merupakan pertanda bahwa perbuatan itu termasuk dalam dosa besar,”.
Sehingga, kata dia, mencabut bulu alis bagi wanita adalah haram jika dia belum
berkeluarga, jika sudah berkeluarga, diperbolehkan melakukannya jika mendapat
izin dari suaminya, atau terdapat indikasi yang menunjukan izin tersebut. “Ini
merupakan pendapat jumhur [mayoritas] ulama.” Mereka beralasan bahwa hal itu
termasuk bentuk berhias yang diperlukan sebagai benteng guna menjauhi hal-hal
tidak baik dan untuk menjaga kehormatan ['iffah]. Maka secara syar’i, seorang
istri diperintahkan untuk melakukan demi suaminya. Demikian juga untuk
keperluan pengobatan, menghilangkan cacat atau guna merapikan bulu-bulu yang
tidak beraturan. Sedangkan perbuatan yang melebihi batas-batas tersebut,
hukumnya adalah haram.
2.
Di dalam
Mughnil Muhtaj di sebutkan ;
و يحرم بغير إذن زوج و سيد
وصل شعر بغيرهما و كالشعر الخرق و الصوف كما قال في المجموع و تجعيد الشعر ووشر
الأسنان
- إلى أن قال -
و التنميص وهو الأخد من شعر الوجه و الحاجب للحسن لما في ذلك من التغرير أما
إذا أذن لها الزوج أو السيد في ذلك فإنه يجوز لأن له غرضا في تزيينها له و قد أذن
لها فيه ~مغني المحتاج ١/١٩١
Haram tanpa izin suami (bagi istri) dan tanpa izin sayyid (bagi
budak) hal hal berikut ini, menyambung rambut, mengkeritingkan rambut, meruncingkan
gigi, memakai semir hitam, mencabut alis dan rambut di wajah. Tetai jika
si wanita sudah mendapat izin dari sang suami maka hal hal diatas hukumnya
boleh krn ia mempunyai tujuan yg jelas (berhias untuk suami).
3. Syekh
Ahmad bin Ghanim yang bermadzhab Maliki. Menurutnya, mencukur bulu alis harus
dibedakan dari “menyambung rambut” seperti disebutkan di dalam hadits.
وَيُفْهَمُ مِنْ النَّهْيِ عَنْ وَصْلِ الشَّعْرِ عَدَمُ حُرْمَةِ إزَالَةِ شَعْرِ بَعْضِ الْحَاجِبِ أَوْ الْحَاجِبِ وَهُوَ الْمُسَمَّى بِالتَّرْجِيحِ وَالتَّدْقِيقِ وَالتَّحْفِيفِ وَهُوَ كَذَلِكَ وَسَيَأْتِي لَهُ مَزِيدُ بَيَانٍ.
Dari keterangan larangan menyambung rambut ini, kita dapat memahami
ketidakharaman untuk menghilangkan bulu sebagian alis atau alis secara
keseluruhan. Ini yang disebut tarjih, tadqiq, tahfif. Berikut ini tambahan
keterangannya.
4.
Ibnu Rusyd
mengatakan,
قَالَ ابْنُ رُشْدٍ: وَمَا
يُحْكَى مِنْ إبَاحَتِهِ فَمَرْدُودٌ لِمُخَالَفَتِهِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى
حُرْمَةِ ذَلِكَ مَا فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ قَوْلِهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَعَنَ اللَّهُ .......... إلى الْمُغَيِّرَاتِ
خَلْقَ اللَّهِ» وَالتَّنْمِيصُ هُوَ نَتْفُ شَعْرِ الْحَاجِبِ حَتَّى يَصِيرَ
دَقِيقًا حَسَنًا، وَلَكِنْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -
جَوَازُ إزَالَةِ الشَّعْرِ مِنْ الْحَاجِبِ وَالْوَجْهِ وَهُوَ الْمُوَافِقُ
لِمَا مَرَّ مِنْ أَنَّ الْمُعْتَمَدَ جَوَازُ حَلْقِ جَمِيعِ شَعْرِ الْمَرْأَة
مَا عَدَا شَعْرَ رَأْسِهَا، وَعَلَيْهِ فَيُحْمَلُ مَا فِي الْحَدِيثِ عَلَى الْمَرْأَةِ
الْمَنْهِيَّةِ عَنْ اسْتِعْمَالِ مَا هُوَ زِينَةٌ لَهَا كَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا
وَالْمَفْقُودِ زَوْجُهَا.
pendapat yang membolehkannya ditolak karena menyalahi dalil. Dalil
yang mengharamkannya jelas disebut di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat perempuan yang menyambung rambut....”
“Mencabut alis” adalah mencabut bulu alis hingga tipis dan indah. Tetapi
riwayat dari Sayidatina Aisyah RA membolehkan penghilangan bulu alis dan bulu
di wajah. Pendapat terakhir ini sesuai dengan keterangan yang lalu yaitu
pendapat yang mu‘tamad membolehkan pencukuran seluruh bulu perempuan kecuali
rambut. Larangan di dalam hadits ini bisa dimengerti bagi perempuan yang
dilarang untuk berhias seperti perempuan yang ditinggal wafat suaminya dan
perempuan yang suaminya tanpa kabar entah di mana.
5. Khalil berkata,
قَالَ خَلِيلٌ: وَتَرَكَتْ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا فَقَطْ وَإِنْ صَغُرَتْ وَلَوْ كِتَابِيَّةً وَمَفْقُودًا زَوْجُهَا التَّزَيُّنَ، وَلَا مَانِعَ مِنْ تَأْوِيلِ الْمُحْتَمَلِ عِنْدَ وُجُوبِ الْعَارِضِ، وَلَا يُقَالُ فِيهِ تَغْيِيرٌ لِخَلْقِ اللَّهِ، لِأَنَّا نَقُولُ: لَيْسَ كُلُّ تَغْيِيرٍ مَنْهِيًّا عَنْهُ، أَلَا تَرَى أَنَّ خِصَالَ الْفِطْرَةِ كَالْخِتَانِ وَقَصِّ الْأَظْفَارِ وَالشَّعْرِ وَغَيْرِهَا مِنْ خِصَاءِ مُبَاحِ الْأَكْلِ مِنْ الْحَيَوَانِ وَغَيْرِ ذَلِكَ جَائِزَةٌ.
perempuan yang ditinggal wafat suaminya meskipun belum dewasa, meskipun ahli kitab, perlu meninggalkan aktivitas berhias. Demikian juga perempuan yang suaminya tanpa kabar entah di mana. Tiada halangan untuk menakwil dalil yang memiliki sejumlah kemungkinan makna ketika ada isyarat yang mencegah salah satu makna. Mencabut bulu alis di sini tidak bisa dikatakan sebagai kategori “mengubah ciptaan Allah”. Hemat kami, tidak semua “mengubah ciptaan Allah” itu dilarang. Coba perhatikan, sesuatu yang memang fitrahnya seperti berkhitan, memotong kuku, mencukur rambut, mengebiri hewan yang boleh dimakan, dan banyak lagi contoh lainnya, diperbolehkan. (Lihat Ahmad bin Ghanim An-Nafrawi Al-Azhari Al-Maliki [wafat 1126 H], Al-Fawakihud Dawani ala Risalah Ibni Zaid Al-Qairuwani, Darul Fikr, Beirut).
6. Pendapat Fuqoha’
اتّفق
الفقهاء على أنّ نتف شعر الحاجبين داخل في نمص الوجه المنهيّ عنه بقوله صلى الله
عليه وسلم: « لعن اللّه النّامصات، والمتنمّصات ». واختلفوا في الحفّ والحلق ،
فذهب المالكيّة والشّافعيّة إلى أنّ الحفّ في معنى النّتف . وذهب الحنابلة إلى
جواز الحفّ والحلق، وأنّ المنهيّ عنه هو النّتف فقط. وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ
نتف ما عدا الحاجبين من شعر الوجه داخل أيضاً في النّمص، وذهب المالكيّة في
المعتمد وأبو داود السّجستانيّ، وبعض علماء المذاهب الثّلاثة الأخرى إلى أنّه غير
داخل. واتّفق الفقهاء على أنّ النّهي عن التّنمّص في الحديث محمول على الحرمة،
ونقل عن أحمد وغيره أنّ النّهي محمول على الكراهة . وجمهور العلماء على أنّ النّهي
في الحديث ليس عامّا ، وذهب ابن مسعود وابن جرير الطّبريّ إلى عموم النّهي ، وأنّ
التّنمّص حرام على كلّ حال . وذهب الجمهور إلى أنّه لا يجوز التّنمّص لغير
المتزوّجة ، وأجاز بعضهم لغير المتزوّجة فعل ذلك إذا احتيج إليه لعلاج أو عيب ،
بشرط أن لا يكون فيه تدليس على الآخرين . قال العدويّ : والنّهي محمول على المرأة
المنهيّة عن استعمال ما هو زينة لها ، كالمتوفّى عنها والمفقود زوجها . أمّا
المرأة المتزوّجة فيرى جمهور الفقهاء أنّه يجوز لها التّنمّص ، إذا كان بإذن
الزّوج ، أو دلّت قرينة على ذلك ، لأنّه من الزّينة ، والزّينة مطلوبة للتّحصين ،
والمرأة مأمورة بها شرعا لزوجها . ودليلهم ما روته بكرة بنت عقبة أنّها سألت عائشة
رضي الله عنها عن الحفاف ، فقالت : إن كان لك زوج فاستطعت أن تنتزعي مقلتيك
فتصنعيهما أحسن ممّا هما فافعلي . وذهب الحنابلة إلى عدم جواز التّنمّص - وهو
النّتف - ولو كان بإذن الزّوج ، وإلى جواز الحفّ والحلق . وخالفهم ابن الجوزيّ
فأباحه ، وحمل النّهي على التّدليس ،أو على أنّه كان شعار الفاجرات. الموسوعة الفقهية الكويتية - (ج 15 / ص 69).
وأما الاخذ من الحاجبين إذا طالا فلم أر فيه شيئا
لاصحابنا وينبغى أن يكره لانه تغيير لخلق الله لم يثبت فيه شئ فكره: وذكر بعض
أصحاب احمد انه لا بأس به: قال وكان احمد يفعله. المجموع شرح المهذب - (ج 1 / ص
290)
Para ahli fiqih sepakat, bahwa mencabut rambut alis termasuk
kategori an-namshu yang dilarang dalam hadits Nabi saw (di atas). Sedangkan
dalam hal “Haffi (menggaruk/ menggosok (hingga terlepas))” dan “Halqi Mencukur)”
mereka berbeda pendapat. Menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah “haffi” sama dengan
“natfi (mencabut)”. Sedangkan menurut Hanabilah haffi dan halqi hukumnya boleh
kalau natfi haram. Dan seterusnya ............
Pada
prinsipnya Islam memang tidak mengharamkan laki-laki maupun perempuan untuk
berhias. Karena Allah memang menitipkan tubuh kita sebagai anugerah-Nya untuk
dijaga dan dirawat. Sejauh tidak melanggar rambu-rambu yang disebutkan oleh
Rasulullah SAW, berhias sangat dianjurkan karena Islam menyukai kerapian baik
rambut, kuku, kumis, dan lain sebagainya. Hanya saja untuk masalah mencukur
bulu alis untuk kerapian perlu juga mempertimbangkan aspek kepantasan. Jangan
sampai melebihi batas seperti mencukur habis alis hingga bulu di atas mata itu
yang menjadi perhiasan wajah kehilangan fungsinya. Bukan kerapian yang didapat,
justru keburukan keburukan yang ada. Wa Allohu A'lam.
Post a Comment