KH Bisri Syansuri, “Kyai Plus“ dari Jombang (1887-1980)
Seorang mukmin
sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan hidup manusia, yaitu
Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam batas-batas tertentu Dzat Yang Maha
Agung itu juga memberikan kewenangan kepada manusia untuk menentukan jalan
hidupnya sendiri.
Begitupun,
Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika pada akhirnya akan
menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai menjadi Rais Aam PBNU
menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah) yang harus terlebih dahulu
menghadap Allah SWT.
Perjalanannya
menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri Syansuri mulai keluar
kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri
Syansuri secara serius mendalami ilmu Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade
mark-nya, dan sekaligus bertemu dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang
membawanya ke Jombang, nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama
enam tahun , sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Mekkah.
KH Bisri
Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam lingkungan
pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan waktu dengan rutinitas
dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya.
Walaupun
demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi pelopor“ dalam jagat
pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun membantu mertuanya sembari
belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan untuk hidup mandiri dan bertekad
membangun pesantren di Denanyar Jombang.
KH Bisri
Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri Syansuri paling
tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender
dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus
seorang politisi
Perintis
Kesetaraan Gender
Rasanya tidak
berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender,
khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan
kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.
Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya.
Di zaman yang
masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai
Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya,
hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya.
Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan
melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena
takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya
“kyai“.
Ahli dan
Pecinta Fiqh
Karakter
sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil
Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang
sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama
literatur fiqh lama.
Tidak
mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum
fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan
hidup secara baik.
Walaupun
begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang dibangunnya
di Denanyar.
Politisi
Tangguh
Persinggungannya
dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan
puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara
formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu.
Salah satu
prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri berhasil
mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama
NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang
perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Kini,
masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti KH Bisri
Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam. (Amn)
Sumber "KH
Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH Abdurahman
Wahid, Majalah Amanah, 1989
Post a Comment