Mengenal Hakekat Tasawuf
Sebelum membahas lebih lanjut
tentang tasawuf, sebaiknya kita tela’ah dan kita perhatikan terlebih dahulu
hadits Nabi saw, yang di riwayatkan dari Abi
Huroiroh, ia berkata,
bahwa pada suatu hari Nabi saw berada di tengah-tengah sekelompok orang,
tiba-tiba datang seorang laki-laki kepadanya dan bertanya. Apakah Iman
itu?
Nabi menjawab, Iman ialah apabila engkau percaya adanya Allah, percaya kepada malaikat-Nya, percaya akan bertemu Allah di akhirat, percaya terhadap rasul-rasul-Nya dan percaya akan adanya hari kebangkitan. Selanjutnya laki-laki tersebut bertanya lagi, Apakah Islam itu? Nabi menjawab, Islam ialah apabila engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, engkau mau menunaikan sholat, mengeluarkan zakat dan berpuasa di bulan Romadlon. Kemudian laki-laki itu kembali bertanya, Apakah Ihsan itu? Jawab Nabi, Ihsan ialah apabila dalam menyembah Allah engkau seolah-olah melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu. (HR. Bukhori).
Nabi menjawab, Iman ialah apabila engkau percaya adanya Allah, percaya kepada malaikat-Nya, percaya akan bertemu Allah di akhirat, percaya terhadap rasul-rasul-Nya dan percaya akan adanya hari kebangkitan. Selanjutnya laki-laki tersebut bertanya lagi, Apakah Islam itu? Nabi menjawab, Islam ialah apabila engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, engkau mau menunaikan sholat, mengeluarkan zakat dan berpuasa di bulan Romadlon. Kemudian laki-laki itu kembali bertanya, Apakah Ihsan itu? Jawab Nabi, Ihsan ialah apabila dalam menyembah Allah engkau seolah-olah melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu. (HR. Bukhori).
Dalam hadits ini dapat dipahami
adanya beberapa pengertian pokok yang seharusnya ada pada diri dan jiwa setiap
orang Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Masing-masing dapat dicapai dengan mempelajari dan memahami serta mengamalkan
ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya. Para ulama dari kalangan madzhab apapun
berpendapat, bahwa tentang ke-iman-an dapat dipelajari lewat Ilmu
Tauhid, tentang Islam dapat dipelajari lewat Syari’ah atau Ilmu
Fiqh, sementara tentang Ihsan dapat dicapai dengan mempelajari dan mengamalkan
Ilmu Tasawuf.
Dalam konteks sejarah perkembangan
ilmu-ilmu Islam, istilah tasawuf pada zaman Nabi saw memang belum ada, begitu
juga istilah Ilmu Fiqh, Syari’ah, Aqidah dan ilmu Tauhid. Awalnya masih menjadi
satu, yaitu terkandung semua didalam al-Qur’an dan al-Hadits. Pada perjalanan
selanjutnya, ilmu-ilmu tersebut kemudian menempuh jalannya sendiri-sendiri
dengan prinsip, obyek dan metode yang berbeda. Diantaranya, yang berkaitan
dengan aqidah disebut ilmu tauhid atau ilmu kalam, yang berkaitan dengan prilku
dzohir disebut ilmu fiqh dan yang berkaitan dengan kejiwaan disebut tasawuf dan
akhlaq, dan masih banyak lagi isi kandungan al-Qur’an dan al-Hadits yang
dipreteli atau di sendiri-sendirikan oleh para pakar sehingga menjadi ilmu
khusus atau spesialisasi ilmu. Meskipun dalam segi keilmuan ketiganya terkotak
sendiri-sendiri tetapi pada dasarnya ketiganya adalah satu kesatuan untuk
mencapai tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu ‘ubudiyah atau penghambaan diri
terhadap Allah. Sebagaimana firman Allah, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia kecuali nanti mereka menghambakan diri kepadaku”. Bertasawuf
berarti menghambakan diri kepada Allah. Bertasawuf berarti berjuang
melawan hawa nafsu dan syetan, juga mengontrol semua gerak aktifitas agar
sesuai dengan syari’at agama Islam dan selalu berdzikir atau mengingat Allah,
dalam keadaan apapun. Ingatlah Allah ketika kamu berdiri, duduk dan ketika
berbaring (QS. An-Nisa’. 103).
Dari sini dapat di mengerti bahwa kebajikan
spiritual dalam tasawuf telah dikemas dengan pemikiran, ilmu pengetahuan dan
disiplin kerohanian yang berdasarkan ajaran Islam, serta pengalaman-pengalaman
keagamaan yang telah dikembangkan oleh para ahli tasawuf, Sehingga menjadi
kemasan yang indah dan berisi ajaran-ajaran yang higienis dan bersih dari
kontaminasi virus-virus yang menyesatkan, serta menjadi bagian dari kekayaan
khazanah Islam untuk merespon kemiskinan spiritual masyarakat.
Kronologinya, kondisi pada saat
kurun Nabi, sahabat dan tabi’in, umat Islam masih sangat stabil, sisi akal,
jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang,
cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme.
Tetapi ketika keadaan dunia semakin maju, kekuasaan Islam makin meluas,
kehidupan ekonomi dan sosial semakin mapan, mulailah orang-orang lalai akan
kebutuhan rohani-nya, budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Sehingga
kemiskinan spiritual menginggapi hati dan pola hidup masyarakat. Saat itulah
timbul gerakan tasawuf, gerakan yang bertujuan mengingatkan hakikat dan tujuan
hidup serta tentang pentingnya menjaga diri dari sifat-sifat dan prilaku yang
tercela. Tasawuf muncul dan berkembang di tengah-tengah masyarakat mengajak
mereka agar selalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah, selalu
berdzikir dan mengingat Allah Swt, menanamkan sifat qona’ah, zuhud, cinta
damai, jujur, sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas. Tasawuf datang
menawarkan keseimbangan antara aspek lahiriyah dan aspek batiniyah. Sebab pemahaman
ajaran agama secara rasional ditambah dengan pelaksanaannya secara formal tidak
cukup menjamin kesetiaan orang kepada agamanya. Pemahaman dan formalitas agama
belum membuat orang merasakan nikmatnya beragama, bahkan mungkin hanya membuat
orang merasa terbebani dengan berbagai ketentuan normative dari agamanya
sendiri.
Syari’at biasanya hanya menekankan
perbuatan lahiriyyah, meskipun tidak semuanya. Sedangkan Tasawwuf sangat
menekankan aspek batiniyyah. Ini berarti keduanya saling berkaitan dan saling
menyempurnakan. Kalau suatu ibadah hanya diperhatikan aspek lahiriyyahnya saja,
maka kualitasnya meragukan, Oleh karena itu ibadah haruslah dihayati sampai
keaspek batiniyyahnya, supaya berkualitas. Jadi syari’at lebih merupakan juklak
tentang aturan formal ibadah, sedangkan tasawwuf merupakan bimbingan rohani
untuk selalu mengarahkan hati hanya kepada Allah swt. Imam Dzun Nun Almishri
berkata, Inti dari ajaran tasawwuf adalah, mencintai Allah, zuhud, mengikuti
aturan Alqur’an dan menjauhi kufur.
Tasawwuf lebih menekankan
ibadah dengan aspek kecintaan (Mahabbah), dengan tidak mengesampingkan
aspek-aspek lainnya, seperti aspek rasa takut (Khauf) dan harapan (Raja’)
juga aspek-aspek lainnya, karena memang aspek Mahabbah ini adalah landasan
terealisasinya sebuah ibadah. Banyak ayat Alqur’an yang menekankan aspek cinta,
misalnya, surat Almaidah. 57 “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya”,
dan surat Maryam .97 “Dia akan mengaruniai cinta kepada orang-orang yang
berbuat kebajikan”.
Rasanya sangat tidak layak kalau
menerima dan mengerjakan syari’at, tetapi menganggap tasawwuf sebagai ajaran
yang bid’ah dan sesat. Karena keduanya merupakan dua sisi mata uang yang tidak
terpisahkan, Sholat misalnya, tidak hanya sekedar gerakan-gerakan lahir. Lebih
dari itu, ia memiliki konsekwensi batin yang justru harus dijaga saat sholat
dan diluar sholat. Menurut Syari’at, bahwa sholat seseorang dianggap sah kalau
memenuhi syarat rukunnya. Persoalannya sekarang, bisa tidak sholat tersebut
mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar?, sebagaimana firman Allah swt
“Dirikanlah sholat, sesungguhnya sholat itu mencegah perbuatan keji dan
mungkar”. (Alankabut. 45). Kalau belum bisa berfungsi seperti itu, berarti
belum dianggap sholat. Karena sekedar persyaratan formal saja jelas-jelas tidak
akan membentuk dan meningkatkan perbaikan moral. Seperti inilah bidikan
tasawwuf, dengan tidak mengabaikan persyaratan formal, ajaran ini lebih
menekankan nilai dan fungsi sholat dalam kehidupan nyata.
Dengan demikian, ajaran tasawwuf
tidak hanya meneladani Nabi saw dan Para Salafus sholih, tetapi juga mempunyai
kedudukan penting didalam islam, karena ia adalah mesin produksi generasi yang
tangguh, generasi yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada
kepentingan pribadi dan generasi yang tulus ihlas tanpa pamrih.
Para sahabat rasulullah saw yang
mula-mula mengamalkan ajaran tasawwuf, terbukti dalam sejarah mampu menaklukkan
dua negeri adidaya waktu itu, yaitu Persia dan Romawi. Ajaran zuhud,
wara’, tachalli, tawadlu’, khudlu’, zhull
yang telah terpatri dalam dada mereka menjadi motor penggerak semangat
juang yang tulus karena Allah. Ada
yang mengatakan bahwa mereka adalah, penunggang kuda disiang hari dan rahib
dimalam hari (fursanun nahar ruhbanul lail).
Di Indonesia, peran para sufi dengan
semangat sufismenya memberikan andil besar bagi pencapaian kemerdekaan Negara.
Jadi pantas jika orang-orang non muslim khawatir dan takut dengan munculnya
karakter-karakter seperti generasi ini. Sehingga mereka berusaha menciptakan
setigma negative terhadap ajaran tasawwuf. Pertama-tama yang menghembuskan isu
negative ajaran tasawwuf adalah orang-orang orientalis seperti jones, ia
berkata “bahwa tasawwuf merupakan paduan dari neoplatonisme zaradustra dan
yunani kuno”. Ironisnya ada sebagian dari saudara-saudara kita seagama yang mendukung
pernyataan orang orientalis tersebut, mereka memvonis ajaran tasawwuf adalah
ajaran yang sesat, bid’ah, kebrahmanaan model Hindu, kependetaan model Nasrani,
peribadatan model Yahudi, kezuhudan model Buda, tidak bersumber dari Alqur’an
dan Sunnah Rasul dan lain sebagainya.
Tuduhan-tuduhan seperti ini
sebenarnya sangat berlebihan dan tidak beralasan. Karena dari istinbath
tokoh-tokoh sufi, ajaran tasawwuf ini bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Nabi
saw, dimulai dari uzlah Nabi saw di Goa Hira, diteruskan oleh para sahabat,
tabi’in, kemudian muncullah orang-orang sufi seperti Fudhail bin Iyadl, Imam
Junaydi, Hasan Albashri, Ma’ruf Alkarkhi, Sahl Attastari, Almuhasibi, Abu Yazid
Albusthomi, Dzun Nun Almishri, Bisyr Alhafi, Imam Ghozali, Syaikh Abdul Qodir
Aljilani, Imam Syadzili, dan lain-lain.
Jikalau ada oknum atau lembaga kaum
sufi yang melenceng dari hakikat ajaran Islam, bukan berarti tasawuf secara
keseluruhan divonis bid’ah dan sesat. Cobalah ditelaah dan difahami dengan
seksama istilah-istilah yang biasa digunakan para sufi, agar tidak asal-asalan
alias ngawur dalam mengartikan kitab-kitab tasawuf, jangan buru-buru kongkalikong
memberikan penilaian sebelum mengkaji langsung pada substansi materi dan
tujuannya. Kemudian berilah penilaiaan secara obyektif, jauhkan diri dari sifat
tendensius dan menggenalisir masalah. Sikap ini sangat penting, karena
pembacaan terhadap sebuah kasus yang sudah didahului oleh kesimpulan paten akan
menghalangi objektifitas, dan memburamkan kebenaran sejati. Dan perlu di
perhatikan, jangan memberi penilaian bid’ah atau sesat hanya karena
dengar-dengar ada oknum sufi berkata demikian atau demikian. Karena hal ini
hanya akan menjadi kebohongan public. (Kafa bil Mar’i Kadziban an
Yatakallama ma Sami’a).
Waallohu a’lam.
Post a Comment