Model Pendidikan Pondok Pesantren adalah Model Pendidikan Terbaik
Mantan rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang Prof Dr Imam Suprayoga menyatakan, sistem
pendidikan di Indonesia telah salah besar karena meninggalkan pola pesantren.
Ia katakan, pendidikan terbaik adalah model pondok pesantren. Maka jika ingin
sekolah atau perguruan tinggi menghasilkan lulusan terbaik, buatkan dengan
mengikuti model pesantren.
Namun,
pesantren juga perlu dikembangkan manajemennya atau bidang entrepreneurshipnya.
Beberapa kekurangan di lembaga pesantren seperti tata administrasi juga perlu
dibenahi agar semakin sempurna kebaikannya
Guru
besar yang semasa menjadi rektor UIN Malang mengasramakan 4 ribu mahasiswanya
ini menyatakan hal itu saat menjadi pembicara dalam Seminar Entrepreneur &
Soft Launching 50 Tahun Dies Natalis IKIP Veteran (Ivet) Semarang, di
Auditorium kampus tersebut di Jalan Pawiyatan Luhur Semarang, Selasa,
(23/2/2016).
"Filosofi
pendidikan itu harusnya menunggui murid sepanjang masa belajar. Seperti ayam
betina mengerami telurnya. Maka guru maupun lembaga pendidikan perlu menerapkan
pola pengasuhan. Dan itu berarti memakai pola pondok pesantren," ujar guru
dosen senior yang pernah 41 tahun menjadi kepala madrasah dan sekolah di Jawa
Timur ini.
Ia jelaskan,
pesantren menerapkan pendidikan kepada hati. Kepada jiwa. Mendidik akhlak agar
sempurna mulia. Hasilnya, tidak hanya hati yang menjadi bercahaya, melainkan
otak juga cemerlang. Terbukti, diungkapkannya, semua lulusan terbaik setiap
wisuda sarjana di UIN Malang selalu mahasiswa yang tinggal di asrama mahasiswa.
Di pesantren kampus. Dan hampir semuanya hafal Al-Qur'an.
"UIN
Malang mengasramakan mahasiswa dengan maksud mengontrol belajar mereka agar
lulus cepat dengan nilai bagus. Ternyata dengan pola pondok pesantren yang
menekankan aspek moral, kami dapat bonus. Para mahasiswa yang adalah santri itu
tidak hanya menjadi pintar akademiknya, melainkan juga hafal kitab sucinya.
Jadi karena mereka menghafalkan Al-Qur'an, otaknya jadi encer dan ilmu begitu
mudah dikuasai," tuturnya disambut tepuk tangan hadirin.
Imam
menceritakan, dulu semasa ia pertama menjadi rektor, UIN Malang adalah kampus
kecil kelas ndeso. Namanya Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Malang.
Mahasiswanya hanya sedikit dan hanya berasal dari Malang dan sekitarnya.
Dosennya hanya 43 orang dan sudah tua semua. Enam bulan diberi tugas mengajar,
sudah tujuh orang yang meninggal dunia.
Lalu dengan
keyakinan kuat, ia ajak seluruh elemen kampus untuk memajukan almamater.
Caranya dengan mengamalkan sebuah hadis Rasulullah tentang perlunya memiliki
tamu yang banyak, karena tamu membawa berkah.
"Kami
dulu kampus kecil tidak terlihat. Lalu kami bertekad maju, kami buat agar punya
banyak tamu. Dengan mencari celah apapun yang bisa mengundang orang mau datang
bertamu. Alhamdulillah hasilnya nyata," paparnya.
Kepada para
kepala SMK berbasis pesantren yang hadir dalam seminar tersebut Imam memberi
saran, setiap SMK harus mencari dan menonjolkan keunikan masing-masing agar
mengundang datangnya tamu. Tamu yang banyak akan membuat para pegawai, dosen,
dan mahasiswa bangga. Lalu bersemangat ingin menunjukkan yang terbaik kepada
para tamunya. Jadi, tanpa diceramahi rektor, seluruh elemen kampus bergerak,
berimprovisasi untuk kemajuan kampusnya. Itulah kunci awal perkembangan.
Pentingkan
bahasa asing
Imam mengaku
heran dengan para pemangku perguruan tinggi. Semua mengeluh soal kurangnya
penguasaan bahasa asing para dosen maupun mahasiswa, tapi tak ada upaya serius
mengurai masalah itu. Sehinga seolah semua menjadi jeleh tidak tahu apa
yang harus diperbuat. Hanya berhenti pada keluhan.
Maka iapun
membuat gebrakan. Ia langgar silabus dan kurikulum pergurutan tinggi. Jam
kuliah bahasa asing di IAIN Malang (kini UIN Malang) dia ubah dari 2 jam
seminggu menjadi minimal 4 jam setiap hari. Dia wajibkan mahasiswa baru masuk
asrama, wajib mengikuti pelajaran bahasa asing mulai jam 14 sampai malam. Wajib
menjadi santri yang aktif berbincang dalam bahasa asing di bawah pengawasan
pengasuh asrama.
Hasilnya,
kata dia, seluruh mahasiswa mampu berbahasa asing bagus minimal satu bahasa
asing. Banyak yang menguasai dua atau lebih bahasa asing. Bahkan rata-rata bisa
menulis skripsi dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing. Satu orang diantaranya
menulis skripsi dalam sembilan bahasa.
"Program
kami, minimal bahasa Arab dan Inggris harus menjadi kompetensi setiap lulusan
UIN Malang. Alhamdulillah kami cukup berhasil. Mahasiswa kami yang dari luar
negeri saja berasal dari 32 negara," ucapnya bangga.
Didik
hati, hasilkan profesionalisme
Lebih lanjut
Imam memaparkan, mendidik hati manusia, menempa ruh mereka, akan menghasilkan
jiwa yang profesional. Dan itulah yang sangat dibutuhkan dalam dunia
entrepreneur. Jika orang butuh pegawai yang profesional, jangan mencari dari
lulusan manajemen "sekular" tetapi carilah dari orang yang ditempat dengan
pendidikan rohani.
Ia ceritakan,
Ponpes Sidogiri Pasuruhan punya lembaga keuangan Baitul Mal wa Tamwil (BMT)
yang asetnya Rp 16 triliun. Padahal di pesantren itu tidak ada sekolah
manajemen keuangan atau fakultas ekonomi jurusan perbankan. Sedangkan Universitas
Brawijaya yang punya jurusan Koperasi, justru Koperasi Mahasiswanya bangkrut.
Sehingga datang ke Sidogiri untuk studi banding belajar mengelola uang.
"Dengan
pesantren mendidik hati para santri, kiai menjadi sentral panutan moral,
terciptalah insan profesional. Sehingga disuruh mengelola uang sampai triliunan
rupiah mampu. Amanah. Kalau hanya mengajar soal manajemen, hanya ada orang
pintar tapi potensial ngakali atau akal-akalan," tandasnya.
Sosok Kiai
Mahfud Sobari, pengasuh pesantren Pacet Mojokerto juga ia jadikan contoh
kesuksesan di bidang entrepreneurship. Kiai sahabatnya itu, kata Imam,
merupakan sosok konglomerat. Usahanya macam-macam, sampai dia tanya ga pernah
bisa ngitung penghasilannya.
Namun ketiga
dia desak, Kiai Mahfud pernah cerita bahwa penghasilannya setiap bulan tak
boleh kurang dari Rp 2 miliar. Sebab dia harus menghidupi empat istri,
membiayai 20 anak kandung, puluhan yatim piatu dan membantu ratusan santri yang
diasuhnya.
"Saya
pernah membawa dosen-dosen UIN Malang ke rumah Kiai Mahfud. Mendengar tuan
rumah punya istri empat, ibu-ibu pada jengkel dan menilai buruk beliau. Setelah
diberitahu kalau penghasilan beliau per bulan Rp 2 miliar, eh, ibu-ibu itu
bilang; lha kalau gitu ya saya mau jadi istrinya," tuturnya disambut tawa
hadirin. (Ichwan/Fathoni/NU Online/muslimoderat)
Post a Comment