KH Gholib, Ulama Asal Lampung yang Gigih Perjuangkan Kemerdekaan
KH Gholib adalah seorang ulama besar asal
Pringsewu, Lampung, yang juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan.
Keberaniannya menghadapi pasukan penjajah, membuat namanya amat terkenal di
masa itu, dan sangat ditakuti pihak musuh. Beliau merupakan komandan pasukan
tentara Hizbullah yang gagah berani, berjuang melawan penjajahan Belanda maupun
Jepang.
KH. Gholib dilahirkan pada tahun 1899 di Kampung
Modjosantren, Krian, Jawa Timur. Ayahnya bernama K. Rohani bin Nursihan dan ibu
Muksiti. Pada usia tujuh tahun, ibunya menyerahkan Gholib kepada Kiai Ali
Modjosantren yang sangat masyhur di desanya untuk belajar ilmu agama.
Pada kyai Ali, Gholib kecil mendapat pelajaran
kajian Al-Qur’an, ilmu fiqih, tauhid, akhlak, dan sebagainya. Meski sudah
banyak ilmu didapat, Gholib terus menuntut ilmu, diantaranya pada tokoh pendiri
Nahdlatul Ulama, K.H.’Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng, dan K.H.
Kholil di Bangkalan Madura.
Berbekal ilmu dari sejumlah pesantren itu, Gholib
mengembara untuk menyebarkan ilmunya ke berbagai kota. Diantaranya masuk ke
beberapa kota di Jawa Timur, Sumatera, hingga ke Johor Malaysia, dan Singapura.
Saat menginjak dewasa, Gholib menikahi wanita
bangsawan Jawa yang bernama Syiah’iyah. Namun mereka tidak dikaruniai
keturunan. Pasangan itu mengasuh tiga anak angkat, yaitu Zamjali, Rubu’iyyah,
dan Romlah.
Saat berada di Singapura, tahun 1927, Gholib
bertemu dengan M. Anwar Sanpawiro, seorang Jawa yang sudah lama menetap di
Pagelaran, Tanggamus, Lampung. M. Anwar Sanpawiro menceritakan tentang kolonialisasi
(transmigrasi), warga Jawa ke propinsi Lampung yang saat itu sedang marak.
Cerita M. Anwar membuat Gholib tertarik untuk
hijrah pula ke Lampung. Bersama istrinya, KH. Gholib berangkat menuju Lampung
menggunakan kapal laut. KH. Gholib dan istri tinggal sementara di rumah M.
Anwar Sanpawiro.
Berikutnya, KH Gholib membeli sebidang tanah di
sebelah utara pasar Pringsewu. Beliau mendirikan tempat tinggal berlantai
tanah, berdinding gribik dan beratap alang-alang. Dia membangun sebuah masjid
yang berlantaikan semen, berdinding papan dan beratap genteng, yang kini masih
berdiri, dengan nama Masjid KH. Gholib. Masjid ini digunakan sebagai tempat
mengajarkan agama Islam kepada warga sekitar, mulai dari anak-anak, hingga
orang tua.
Menurut penuturan salah seorang cucu KH Gholib,
Dr. Hj. Farida Ariyani, M.Pd, majelis ta’lim yang dibangun simbah kakung-nya
(panggilan untuk KH Gholib), sejak awal berkembang cukup pesat. KH Gholib lalu
mendirikan lembaga pendidikan, yang mulanya adalah sebuah madrasah dengan santri
sebanyak 20 orang. “Madrasah yang didirikan simbah kakung itu sederhana dan
cukup untuk belajar 20 orang. Bangunan itu terdiri atas tiga lokal berlantai
tanah, berdinding geribik dan beratap genteng,” kata Farida.
Guru pertama di madrasah KH Gholib bernama H.M
Nuh, berasal dari Cianjur, Jawa Barat. Pada tahun 1942, di masa penjajahan
Jepang, lembaga pendidikan Pondok Pesantren KH Gholib tetap berjalan terus dan
mengalami kemajuan sangat pesat. Seiring berjalannya waktu, madrasah semakin
maju ditandai dengan banyaknya santri dan juga hadirnya para guru madrasah baik
dari Jawa maupun dari Lampung. Kondisi itu menarik minat belajar.
“Dalam waktu singkat, santri yang belajar disana
lebih dari seribu orang, yang berasal dari Lampung, Palembang, Bengkulu dan
Jambi,” ungkap Farida, yang juga dosen di Universitas Lampung ini.
Kompetensi yang dikembangkan di madrasah itu
antara lain pandai berbahasa Arab, pandai ilmu Nahushorof, dan membaca Qur’an
dengan fasih dan lagu yang merdu. Lembaga pendidikan itu juga mewajibkan
seluruh siswa dan gurunya memelihara waktu ibadah, yaitu harus selalu sholat
berjamaah di masjid. Setiap malam Jumat, dilakukan pembacaan berzanji dan
marhaban.
Di madrasah, semua siswa belajar tanpa dipungut
biaya. Para guru yang mengajar disana dibayar sendiri oleh KH Gholib, termasuk
makan sehari-hari saat mengajar. Bahkan bila guru dan keluarganya sakit, dapat
dibawa ke poliklinik miliknya secara cuma-cuma. Banyak pula tamu yang datang
untuk diminta didoakan dan dibantu mengobati penyakit, hingga menginap selama
beberapa hari, juga tidak dipungut biaya.
Pejuang Kemerdekaan
Sementara kegigihan KH Gholib dalam melawan
penjajah, dituturkan oleh cucu beliau yang lain, yaitu KH Syamsul. Gholib turut
serta melawan penjajah baik pada masa sebelum maupun pasca kemerdekaan.
Dia tidak suka pada tindakan Jepang yang
menindas, menyiksa, dan memeras rakyat Indonesia. KH Gholib menyiagakan pasukan
mengusir Jepang dari tanah Pringsewu. Walaupun dengan senjata seadanya, seperti
pedang, golok, keris, dan bambu runcing , mereka tak lelah menggempur
basis-basis Jepang disana.
Pada masa penjajahan Jepang, Gholib berkali-kali ditangkap militer. Jepang khawatir, ulama yang amat disegani itu mempengaruhi para
ulama lainnya. Wajar saja tentara Jepang amat membencinya, karena selain kerao
bertempur di medan perang, Gholib menolak ajakan Jepang untuk Dewa Matahari.
Ketika Jepang bertekuk lutut pada Sekutu, dan
Belanda kembali masuk ke Pringsewu, Gholib lagi-lagi menyiagakan senjata demi
mempertahankan kemerdekaan RI. Dia membentuk pasukan jihad pasukan Sabilillah
Hisbullah yang diambil dari anak-anak didiknya, lalu dilatih menjadi Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada anak didik itu
berlatih cara berperang dari beberapa prajurit TNI, rekan seperjuangan KH
Gholib.
Ketika agresi Belanda II tahun 1946, di
Pringsewu, pasukan Tentara Republik Indonesia (TRI) ditempatkan di pesantren KH
Gholib. Tokoh-tokoh tentara saat itu diantaranya dengan tokoh-tokohnya Kapten
Alamsyah Ratuprawiranegara (mantan Dubes RI untuk Belanda, menteri agama,
menteri kordinator kesejahteraan rakyat di era orde baru) dan mayor Effendy. KH
Gholib ditetapkan sebagai pemimpin pasukan gerilya.
KH Gholib tidak hanya berperang melawan penjajah
di daerah Pringsewu. Pada tanggal 8 Agustus 1947 hingga 20 Oktober 1948, pecah
pertempuran di daerah Baturaja dan Martapura, Sumatera Selatan. Pasukan
Sabilillah dan lasykar Hisbullah dipimpin Gholib dan Kapten Alamsyah
Ratuprawiranegara, menuju ke lokasi bertarung sengit dengan Belanda. Banyak
korban yang meninggal dunia, dari kedua belah pihak.
Perjuangan belum selesai. Suatu ketika, 27
November 1949, usai sebuah perundingan damai antara tentara Belanda dan
delegasi RI, di Kotabumi, Lampung Utara, terdengar kabar Belanda kembali masuk
ke Bandar Lampung, dan juga masuk ke daerah Gading Rejo, tak jauh dari
Pringsewu. “KH Gholib bersama para tentara menghancurkan sebuah jembatan utama,
agar pasukan Belanda tidak dapat masuk ke Pringsewu,” kata KH Syamsul, kepada
nu-lampung.or.id, yang menemuinya di teras masjid GH Gholib.
Belanda tidak kehabisan akal. Mereka memutar arah
melalui Kedondong, lalu ke Pagelaran. Pasukan penjajah mengepung dengan
menghujani peluru ke tempat-tempat persembunyian para pejuang. Lagi-lagi banyak
korban yang tewas. Suasana semakin tidak aman.
KH Syamsul menceritakan, tentara Belanda lalu
mencari-cari simbah kakung itu. Gholib dan para pengikutnya memutuskan untuk
bersembunyi di hutan-hutan. Selama Ghalib bersembunyi, Belanda terus merusak,
menghancurkan, dan menjarah aset KH Gholib, seperti pesantren, rumah, mobil,
pabrik tapioka, pabrik padi, poliklinik, dan sebagainya. Seorang guru (ustad)
yang dikenal dekat dengan KH Gholib, dan tidak mau memberitahu dimana
persembunyia sang kyai, tewas dibunuh Belanda.
Selama di persembunyian yang berpindah-pindah, KH
Gholib selalu galau memikirkan nasib warga Pringsewu. Suatu ketika, usai sholat
idul fitri, Gholib memutuskan untuk pulang. Apalagi dia menderita sakit dan
sempat lumpuh.
Kabar pulangnya pria ganteng dan berkumis tebal
itu, cepat sampai ke telinga pasukan Belanda. Kiyai Gholib disergap macan loreng,
pasukan khusus kaki tangan penjajah saat itu, kemudian dibawa ke gereja
Katholik Pringsewu, yang saat itu dipakai sebagai markas tentara Belanda.
Kiyai Gholib ditahan selama 15 hari. Dia dibebaskan,
karena ada persetujuan untuk gencatan senjata, yang sudah siap diumumkan. Pada
6 November 1945, bertepatan dengan 16 Syawal 1968, pukul 01.00 dinihari, Gholib
berjalan pulang meninggalkan penjara. Tapi baru beberapa langkah dia berjalan,
sang kyai ditembak dari belakang. Dia gugur seketika. (Gatot Arifianto/
Ila Fadilasari).
Sumber : pwnu lampung
Post a Comment