Bid’ah Menurut Ulama-ulama Besar Dunia; Pengertian dan Pembagiannya
Dalam menyikapi masalah
bid’ah, golongan ahlussunnah wal jama’ah (baca “NU”) sangat berhati-hati dan
tidak gegabah menilai sesama muslim sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah). Karena
menuduh bid’ah berarti menuduh sesat dan setiap kesesatan akan berujung di
neraka. Artinya ketika menjudge bid’ah, berarti telah menghukumi saudara muslim
sebagai orang yang sesat yang akan berujung di neraka.
Di bawah ini
adalah pengertian dan pembagian bid’ah menurut para Ulama’ dari kalangan
madzhab Syafi’I :
1. Imam Syafi’i
Imam Abu
Abdillah Muhammad bin Idris As Syafii, mujtahid agung pendiri madzhab Syafii
yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal Jamaah di dunia Islam, berkata:
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ
ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً
أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ
: مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ
مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
“Perkara-perkara
baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al
Quran, Sunnah, Ijma atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan
sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini
adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak
menyalahi al Quran, Sunnah, mau pun Ijma, maka sesuatu yang baru seperti ini
tidak tercela.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi
dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafii juz 1/ 469)
Dalam riwayat lain Imam Syafii berkata:
اَلْبِدْعَةُ
بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ
السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada
dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai
dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah
bid’ah tercela.” (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibnu
Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah
menjadi dua oleh Imam Syafii ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari
seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama
dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka,
seperti Izzuddin bin Abdis Salam, Imam Nawawi, Ibnu `Arofah, al Hathab al
Maliki, Ibnu Abidin dan lainnya. Dari kalangan ahlul hadits ada Ibnul Arobi al
Maliki, Ibnul Atsir, al Hafidz Ibnu Hajar, al Hafidz as Sakhawi, al Hafidz as
Suyuthi dan lainnya. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al
Fayyumi, al Fairuzabadi, az Zabidi dan lainnya.
2. Ar Rabi
Imam ar Rabi bin
Sulaiman, periwayat ilmu Imam Syafii termasuk salah satu yang meriwayatkan
ucapan Imam Syafii :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ
ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً
أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ ضَلاَلـَةٌ، وَالثَّانِيَةُ :
مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ
مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
“Perkara
baru yang diada-adakan itu ada dua macam: Pertama, perkara baru yang
bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar Sahabat atau ijma’ ulama’, maka
bid’ah itu adalah sesat (fa hadhihil-bid‘atu dalalatun). Kedua, perkara baru
yang diadakan dari segala kebaikan (ma uhditsa min al-khair) yang tidak
bertentangan dengan hal yang disebutkan, yang ini bukan bid’ah dicela (wa
hadhihi muhdatsatun ghairu madzmumah).” [
Diriwayatkan dari al-Rabi` oleh al-Bayhaqi didalam “al-Madkhal” dan “Manaqib
asy-Syafi`i, I : 469 dengan sanad shahih dan dishahihkan juga oleh Ibnu
Taimiyyah dalam “Dar’u Ta`arud al-`Aqli wan-Naqli, hal. 171 dan melalui
al-Baihaqi oleh Ibn `Asakir dalam “Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 97.
Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam “Siyar”, VIII : 408, Ibnu Rajab dalam “Jami`
al-`Ulum wal-Hikam, II : 52-53, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253.]
3. Imam Izzuddin bin Abdissalam
Imam Mujtahid,
Izzuddin bin Abdis Salam mempelopori pembagian bid’ah menjadi lima. Dalam hal
ini beliau mengatakan:
اْلبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ
يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ الله وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى: بِدْعَةٍ
وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوْبَةٍ، وَبِدْعَةٍ
مَكْرُوْهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيْقُ فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ
تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ
قَوَاعِدِ اْلإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ
التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ
فَهِيَ مَنْدُوْبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاِعِد الْمُبَاحِ فَهِيَ
مُبَاحَةٌ. وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ: أَحَدُهَا: اْلاِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ
الَّذِيْ يُفْهَمُ بِهِ كَلاَمُ اللهِ وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ وَذَلِكَ وَاجِبٌ
لأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلاَّ
بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.
الْمِثالُ الثاَّنِيْ: الْكَلاَمُ فِيْ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْل لِتَمْيِيْزِ
الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ. وَلِلْبِدَعِ الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا
مَذْهَبُ الْقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْجَبَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ
الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ عَلىَ هَؤُلاَءِ
مِنْ البِدَعِ الوَاجِبَةِ. وَلِلْبِدَعِ الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا:
إِحْدَاثُ الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ إِحْسَانٍ لَمْ
يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ اْلأَوَّلِ، وَمِنْهَا صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ..
وَلِلْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ،
وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ. وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌ:
مِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ
وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسُ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعُ
اْلأَكْمَامِ
“Bid’ah adalah
mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah.
Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah
mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah. Dan jalan untuk mengetahui hal
itu adalah dengan membandingkan bid’ah pada kaedah-kaedah syariat. Apabila
bid’ah itu masuk pada kaidah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk
pada kaidah haram, maka bid’ah muharramah. Apabila masuk pada kaidah sunat,
maka bid’ah mandubah. Dan apabila masuk pada kaidah mubah, maka bid’ah mubahah.
- Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Contoh kedua, pembahasan mengenai jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
- Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, diantaranya bid’ah ajaran orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bidah-bid’ah tersebut termasuk hukumnya wajib.
- Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, diantaranya mendirikan sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang tidak pernah dikenal pada abad pertama, dan diantaranya shalat Tarawih (berjamaah dalam satu imam).
- Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, diantaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
- Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, diantaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai songkok thaylasan, memperlebar lengan baju dan lain-lain.” (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/133)
Pandangan
Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam ini yang membagi bid’ah menjadi lima bagian
dianggap sebagai pandangan yang final dan diikuti oleh mayoritas ulama
terkemuka dari kalangan fuqaha dan ahli hadits.
4. Imam Nawawi
Imam Muhaddits al Hafizh Abu Zakariya Yahya
bin Syaraf an Nawawi juga membagi bid’ah secara umum kepada dua bagian. Ketika
membicarakan masalah bidah, beliau mengatakan:
اَلْبِدْعَةُ بِكَسْرِ اْلبَاءِ فِي
الشَّرْعِ هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ – صلى الله
عليه وسلم – ، وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إِلى: حَسَنَةٍ وَقَبِيحَةٍ.
“Bid’ah
–dengan mengkasroh huruf ba– menurut syariat adalah segala sesuatu yang tidak
pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan
buruk.” (Tahdzib al Asma wa al Lughat 3/298 )
Secara lebih
rinci, Imam Nawawi bahkan membagi bid’ah kepada lima bagian. Beliau
melanjutkan:
قَالَ الشَّيْخُ اْلإِمَامُ
الْمُجْمَعُ عَلَى إِمَامَتِهِ وَجَلاَلَتِهِ وَتَمَكُّنِهِ فِي أَنْوَاعِ
اْلعُلُومِ وَبَرَاعَتِهِ أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اْلعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ
السَّلاَمِ رَحِمَهُ اللهُ وَرَضِيَ عَنْهُ فِي آخِرِ كِتَابِ “القَوَاعِدِ”
اْلبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌ إِلى: وَاجِبَةٍ، وَمُحَرََّمَةٍ،
وَمَنْدُوبَةٍ، وَمَكْرُوهَةٍ، وَمُبَاحَةٍ. قَالَ: وَالطَّرِيقُ فِي ذلِكَ أَنْ
تُعْرَضَ اْلبِدْعَةُ عَلى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ، فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ
اْلإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، أَوْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فّمُحَرَّمَةٌ،
أَوِ النَّدْبِ فَمَنْدُوبَةٌ، أَوِ اْلمَكْرُوهِ فَمَكْرُوهَةٌ، أَوِ اْلمُبَاحِ
فَمُبَاحَةٌ،
“Telah
berkata Syaikh dan Imam yang telah disepakati ketokohannya, keagungannya dan
kekokohannya dalam berbagai fan ilmu serta kejeniusannya Abu Muhammad Abdul
Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku beliau, al-Qawa`id (al-Kubra):
“Bid’ah itu terbagi pada perkara-perkara wajib (wajibat), haram (muharramat),
sunnah (mandubat), makruh (makruhat) dan boleh (mubahat). Seharusnya, cara
menilai suatu Bid’ah itu dengan melihat kaidah syariat (qawaid syariah). Jika
ia masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia
termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk hal yang
mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia sunah, apabila ia termasuk hal yang
buruk maka jadilah ia makruh dan seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang
boleh.” (Tahdzib Al-Asma wa al-Lughat 3/298 )
5. Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani
Imam al hafidz
Ibnu Hajar al Asqalani, Ahli hadits dan ahli fiqih bermadzhab Syafii. Secara
umum beliau membagi bid’ah menjadi dua, dan secara rinci beliau membaginya
menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Fath al Bari, beliau mengatakan:
وَكُلّ مَا لَمْ يَكُنْ فِي زَمَنِهِ
يُسَمَّى بِدْعَةً ، لَكِنَّ مِنْهَا مَا يَكُونُ حَسَنًا وَمِنْهَا مَا يَكُونُ
بِخِلَافِ ذَلِكَ
“Segala
sesuatu yang tidak ada di zaman Nabi SAW dinamakan bidah. Akan tetapi sebagian
bid’ah itu ada yang baik dan sebagian lagi ada yang sebaliknya (buruk).” (Fath al Bari 4/318)
Di tempat lain beliau berkata:
وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا
أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ فِيْ مُقَابِلِ
السُّنَّةِ فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا
تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ
مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
وَإِلاَّ فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى اْلأَحْكَامِ
الْخَمْسَةِ.
“Secara
bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Dalam syariat, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga
bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan
sesuatu yang dianggap baik menurut syariat, maka disebut bid’ah hasanah. Bila
masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syariat, maka disebut
bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka
menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” (Fath Al-Bari, 4/253).
6. Hujjatul Islam Imam Ghazali
Hujjatul Islam,
al Imam Muhammad bin Muhammad al Ghazali dalam masterpiece-nya Ihya Ulumiddin
menyatakan:
وَمَا يُقَالُ إنَّهُ أُبْدِعَ
بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَلَيْسَ كُلُّ مَا أُبْدِعَ مَنْهِيّاً،
بَلِ اْلمَنْهِيُّ بِدْعَةٌ تُضَادُّ سُنَّةً ثَابِتَةً وَتَرْفَعُ أَمْراً مِنَ
الشَّرْعِ مَعَ بَقَاءِ عِلَّتِهِ، بَلِ اْلإِبْدَاعُ قَدْ يَجِبُ فِي بَعْضِ
اْلأَحْوَالِ إِذَا تَغَيَّرَتِ اْلأَسْبَابُ
“Apa yang
dikatakan bahwa itu (kenyang) adalah baru dilakukan setelah Rasulullah maka
tidaklah semua perkara bid’ah itu dilarang. Yang dilarang adalah yang
bertentangan dengan sunnah tsabitah dan menghilangkan suatu perkara syariat
bersama tetapnya illatnya. Bahkan terkadang membuat hal baru (bidah) itu
menjadi wajib ketika situasinya berubah.” (Ihya
Ulumiddin, Adabul `Akl 2/3)
Pada kesempatan
lain, Imam Ghazali berkata ketika mengulas masalah penambahan titik pada al
Quran:
وَلاَ يَمْنَعُ مِنْ ذلِكَ كَوْنُهُ
مُحْدَثاً فَكَمْ مِنْ مُحْدَثٍ حَسَن كَمَا قِيلَ في إِقَامَةِ الْجَمَاعاَتِ فِي
التَّرَاوِيحِ إِنَّهَا مِنْ مُحْدَثَاتِ عُمَرَ رضي الله عنه وَأَنَّهَا بِدْعَةٌ
حَسَنَةٌ. إِنَّمَا اْلبِدْعَةُ اْلمَذْمُومَةُ مَا يُصَادِمُ السُّنَّةَ
القَدِيمَةَ أَوْ يَكَادُ يُفْضِي إلى تَغْيِيرِهَا.
“Hakikat
bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya untuk
dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti sembahyang Tarawih
berjamaah, ia adalah Bid’ah yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ra, tetapi
dipandang sebagai Bid’ah yang baik (Bid’ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang
dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah
Rasulullah SAW atau yang bisa merubah Sunnah itu.”
(Ihya Ulumiddin, I : 276)
7. Imam Ibnu Atsir
Imam al Hafizh
Ibnu Atsir al Jazari, pakar hadits dan bahasa, juga membagi bid’ah menjadi dua
bagian; bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Dalam kitabnya,
Al-Nihayah fi Gharib al Hadits wa al Atsar, beliau mengatakan:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةُ
هُدًى وَبِدْعَةُ ضَلاَلٍ فَمَا كَانَ فِيْ خِلاَفِ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ
وَرَسُوْلُهُ فَهُوَ مِنْ حَيْزِ الذَّمِّ وَاْلإِنْكَارِ وَمَا كَانَ وَاقِعًا
تَحْتَ عُمُوْمٍ مِمَّا نَدَبَ اللهُ إِلَيْهِ وَحَضَّ عَلَيْهِ اللهُ
وَرَسُوْلُهُ فَهُوَ فِيْ حَيْزِ الْمَدْحِ وَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثَالٌ
مَوْجُوْدٌ كَنَوْعٍ مِنَ الْجُوْدِ وَالسَّخَاءِ وَفِعْلِ الْمَعْرُوْفِ فَهُوَ
فِي اْلأَفْعَالِ الْمَحْمُوْدَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ فِيْ
خِلاَفِ مَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ
“Bid’ah ada
dua macam: bid’ah huda (sesuai petunjuk agama) dan bid’ah dhalal (sesat).
Bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah, tergolong bid’ah tercela
dan ditolak. Sedangkan bid’ah yang berada di bawah naungan keumuman perintah
Allah dan sesuatu yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong
bid’ah terpuji. Sesuatu bid’ah (hal baru) yang belum pernah ada yang serupa
sebelumnya seperti jenis kedermawanan yang baru atau kebajikan yang baru
tentunya itu termasuk hal terpuji dan tidak mungkin digolongkan kepada sesuatu
yang menyalahi syariat.” (An Nihayah fi Gharib al
Atsar 1/267)
8. Imam Abu Syamah
Imam Abu Syamah,
guru Imam Nawawi, penolong sunah dan pembasmi bidah, dalam kitabnya tentang
mengingkari bid’ah mengatakan:
)فصل(ثُمَّ اْلحَوَادِثُ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى بِدَعٍ
مُسْتَحْسَنَةٍ وَإِلَى بِدَعٍ مُسْتَقْبَحَةٍ فَاْلبِدَعُ اْلحَسَنَةُ مُتَّفَقٌ
عَلى جَوَازِ فِعْلِهَا وَاْلاِسْتِحْبَابِ لَها وَرَجَاءِ الثَّوَابِ لِمَنْ
حَسُنَتْ نِيَّتُهُ فيهَا. الباعث على انكار البدع والحوادث ( ص : 12(
“Fasal.
Kemudian hal-hal yang baru itu terbagi menjadi bid’ah-bid’ah yang baik dan
bidah-bid’ah yang buruk. Adapun bid’ah yang baik maka itu disepakati kebolehan
melakukannya dan kesunahannya dan mengharapkan imbalan pahala bagi orang yang
baik niatnya dalam melakukannya.” (al Baits `Ala
Inkaril Bida’ wal Hawadits hal 12)
9. Imam Sakhawi
Imam agung dalam madzhab Syafii, as
Syakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits mengatakan mengenai bidah:
وَاْلبِدْعَةُ هِيَ مَا أُحْدِثَ
عَلىَ غَيْرِ مِثَالٍ مُتَقَدِّمٍ فَيَشْمُلُ اْلمَحْمُودَ وَاْلمَذْمُومَ وَلِذَا
قَسَمَهَا اْلعِزُّ بْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ كَمَا سَأُشِيرُ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ
اللهُ عِنْدَ التَّسْمِيعِ بِقِرَاءَةِ اللَّحَّانِ اِلَى اْلأَحْكَامِ
اْلخَمْسَةِ وَهُوَ وَاضِحٌ وَلكِنَّهَا خُصَّتْ شَرْعًا بِاْلمَذْمُومِ مِمَّا
هُوَ خِلاَفُ الْمَعْرُوفِ عَنِ النَّبِي صلى الله عليه وآله وسلم
“Bid’ah itu
adalah sesuatu yang dibuat tanpa ada contoh terdahulu sebelumnya. Ia mencakup
yang baik dan yang tercela. Oleh sebab itu al Izz bin Abdis Salam membaginya,
sebagaimana akan aku isyaratkan insya Allah ketika membahas masalah
memperdengarkan qiroah yang lahn, kepada lima hukum. Itu jelas, akan tetapi
bid’ah dikhususkan secara syariat kepada yang tercela dari apa yang
bertentangan dengan yang makruf dari Nabi saw.”
(Fathul Mughits juz 1/326-327)
10. Imam Suyuthi
Imam Suyuthi dalam Syarah Muwaththo
mengatakan:
تُطْلَقُ اْلبِدْعَةُ فِي الشَّرْعِ
عَلىَ مَا يُقَابِلُ السُّنَّةَ أَيْ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِهِ صلى الله عليه
وآله وسلم ثُمَّ تَنْقَسِمُ إِلىَ اْلأَحْكَامِ اْلخَمْسَةِ
“Dalam syariat bid’ah digunakan untuk
apa yang menjadi lawan dari sunnah, maksudnya sesuatu yang tidak ada di zaman
Rasululllah saw kemudian bid’ah terbagi menjadi lima hukum.” (Syarah Muwatho juz 1/105)
11. Ibnu Hajar al Haitami
Imam Ibnu Hajar
al Haitami dalam al Fatawa al Haditsiyah mengatakan:
وَقَوْلُ السَّائِلِ : هَلِ
اْلاِجْتِمَاعُ لِلْبِدَعِ اْلمُبَاحَةِ جَاِئزٌ ؟ جَوَابُهُ :نَعَمْ هُوَ جَائِزٌ
، قَالَ الْعِزُّ بْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ رَحِمَهُ اللهُ : اْلبِدْعَةُ فِعْلُ مَا
لَمْ يُعْهَدْ فِي عَهْدِ النَّبِيّ صلى الله عليه وآله وسلم وَتَنْقَسِمُ إِلَى
خَمْسَةِ أَحْكَامٍ …
Adapun
pertanyaan penanya, “Apakah berkumpul untuk melakukan bidah-bid’ah yang boleh
itu diperbolehkan? Jawabannya: Benar itu
diperbolehkan. Berkata al Izz bin Abdis salam ra: Bid’ah itu adalah melakukan
apa yang tidak ada di masa Nabi saw dan ia terbagi menjadi lima hukum… (Al
Fatawa al Haditsiyah juz 1/150)
12. Imam al Munawi
Dalam faidhul
Qodir, Imam al Munawi mengatakan:
الْبِدْعَةُ خَمْسَةُ أَنْوَاعٍ :
مُحَرَّمَةٌ وَوَاجِبَةٌ وَمَنْدُوبَةٌ وَمَكْرُوهَةٌ وَمُبَاحَةٌ
“Bid’ah ada
lima macam: Haram, wajib, sunah, makruh dan mubah.” (Faidhul Qodir juz 1/440)
13. Imam ad Dimyati
Imam ad Dimyati,
ahli fiqih madzhab Syafii dalam kitab monumentalnya I`anat at Thalibin
menyatakan:
وَالْحاَصِلُ أَنَّ اْلبِدَعَ
اْلحَسَنَةَ مُتَّفَقٌ عَلَى نَدْبِهَا، وَهِيَ مَا وَافَقَ شَيْئًا مِمَّا مَرَّ،
وَلَمْ يَلْزَمْ مِنْ فِعْلِهِ مَحْذُورٌ شَرْعِيٌّ. وَمِنْهَا مَا هُوَ فَرْضُ
كِفَايَةٍ ، كَتَصْنِيفِ اْلعُلُومِ.
“Kesimpulannya
bahwa bidah-bid’ah hasanah disepakati kesunahannya. Bid’ah hasanah adalah apa
yang sesuai dengan dalil yang telah disebutkan. Dan perbuatannya tidak
mengakibatkan hal yang terlarang secara syariat. Sebagian dari bid’ah ada yang
hukumnya fardhu kifayah seperti penulisan ilmu-ilmu.” ( Hasyiyah i`anatith tholibin juz 1/271)
Post a Comment