Kisah heroik Tjoet Nyak dhin, "The Queen of Aceh Battle" (1848-1908)
Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan
perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang
di usia lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda
sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini
sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria
pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya
adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
TJOET NJAK
DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat
beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari
wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah
keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu
Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang
bangsawan Lampagar. Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak
kecil Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama.
Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan
mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami
dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan
kerabatnya.
Karena
pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet
Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal. Tjoet Njak Dien
dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana
perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan.
Parlawanan
yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang
mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir. Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh
orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga
putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh
kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan
agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah
semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir
(Snouck Hourgronje, 1985: 107).
Setelah
dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari
rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan
harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang
pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara
kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya. Ketika perang
Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan
sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku
Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien
mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong
dan pembakar semangat juang suaminya.
Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang,
sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan
semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke
rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah
hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.
Begitu
menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya
bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang
masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya
sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya
menuntut balas tersebut.
Hari-hari
sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan
perlawanan terhadap pasukan Belanda. Dua tahun setelah kematian suami
pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan
Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria
yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar
ditepati.
Teuku Umar
adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian
bagi pihak Belanda. Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang
yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama
dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah
tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi
Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899,
Teuku Umar gugur.
Sejak
meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan
serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang
berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan.
Cut Nyak Dien
kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami,
perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah
pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada
penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai
sekalipun. Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu
dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di
tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun
tidak pernah berhasil.
Keterlibatan
Tjoet Njak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran
terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala
berserulah ia, “Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan
sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahu wataala,
tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu!
Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh
yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh
yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).
Lama-lama
pasukan Tjoet Njak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara
akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian
lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak
Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang
tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun
semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan.
Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan
untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan
penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat marah. Pang Laot Ali
tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia
menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa
syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.
Begitu
teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak
ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan
Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap
tangannya. Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini,
mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap
kalimat, “Y a Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa
aku diserahkan kepada kafir”.
Tjoet Njak
Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen
yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih
nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya. Tapi walaupun di dalam
tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang
yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang
sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati
mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.
DI SUMEDANG
tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya
lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas
dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang
bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin
mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.
Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria
Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah.
Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di
penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum
(masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu
tinggal dan dirawat. Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan
atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga
karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.
Pada tanggal 6 November 1908 Ibu Perbu
meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek
pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang.
Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan
yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan
Indonesia, tak
ada yang menyangka bila perempuan yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah
"The Queen of Aceh Battle" dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet
Nyak Dhien.
Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada
tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa
Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan
ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu
berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12).
Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah
Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50
tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun. Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar
sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita
ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het
verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.
Aceh mengenal
Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam
berbagai sektor, Jauh sebelum dunia barat berbicara tentang persamaan hak yang
bernama emansipasi perempuan.
Tjoet Nyak,
"The Queen of Aceh Battle", wanita perkasa, pahlawan yang sebenarnya
dari suatu realita jamannya.. berakhir sepi di negeri seberang.. Innalillahi
wainnailaihi rojiun.. dengan rencong ditangan yang terjun langsung ke medan
perang. Pahlawan sejati tanpa kompromi yg tidak bisa menerima daerahnya
dijajah.
Post a Comment