Hubungan NU, Kyai dan Kitab Kuning
KH. Ahmad
Ishomuddin (Rois Suriah PBNU)
NU (Nahdlatul
Ulama) adalah perkumpulan (jam'iyyah/organisasi) yang didirikan oleh ulama
pondok pesantren di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan
tanggal 31 Januari 1926.
Oleh karena
sejak awal didirikan oleh ulama pondok pesantren, maka organisasi terbesar di
dunia yang bergerak dalam bidang keagamaan, pendidikan dan sosial ini hingga
kapanpun sama sekali tidak bisa dipisahkan dari para kyai (ulama) dan para
santri pondok pesantren.
Memisahkan
peran para kyai dan santri dari tubuh NU sama dengan membunuh NU karena
mencabut roh dari tubuhnya, dan sama dengan memisahkan mereka dari kitab-kitab
kuning, yakni referensi primer ilmiah keagamaan di dunia pondok pesantren.
Memang NU
sebagai organisasi terbesar umat Islam bukan saja di Indonesia, bahkan di
dunia, tidak bisa dipisahkan dari para kyai, sebagaimana para kyai dan santri
yang juga tidak bisa dipisahkan dari kitab-kitab klasik berkertas
kekuning-kuningan (al-kutub al-shafra' al-qadimah) itu.
Aku menduga
kuat, bahwa dipilihnya nama Nahdlatul Ulama yang berbahasa Arab itu, yang dalam
Bahasa Indonesia berarti "Kebangkitan Ulama", juga diambil dari kitab
kuning yang sangat populer di dunia pesantren. Kata "Nahdlah" sangat
mungkin diilhami oleh satu bait syair ke 435 dalam kitab Alfiyyah Ibnu Mālik
dalam Bab A'māl Ism al-Fā'il berikut ini:
وأجرر أو انصب تابع الذي انخفض كمبتغى جاه ومالا من نهض
Dan atau boleh
jadi kata "Nahdlah" justru diilhami oleh kata bijak dari al-Syaikh 'Abd
al-Karīm Ibn 'Athaillah al-Sakandari dalam kitab Ilmu Tashawwuf terkenal,
al-Hikam, berikut ini:
لا
تصحب من لا ينهضك حاله ولا يدلك على الله مقاله
"Janganlah
kau pergauli orang yang hāl (suasana hati)-nya tidak membangkitkan-mu dan
ucapannya pun tidak menunjukkanmu kepada Allah."
Nasehat Ibn
'Athaillah tersebut patut dijadikan pedoman, bahwa pada hakikatnya
berorganisasi di lingkungan NU hanya bermanfaat jika teman-teman sepergaulan
mampu menciptakan suasana batin dan perkataan yang membangkitkan semangat untuk
meraih cita-cita tertinggi, yakni selalu dekat dengan Allah SWT., sedangkan
setiap perilakunya senantiasa sejalan dengan aturan agama, tidak kurang dan
tidak pula berlebihan. Sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk
manusia lainnya.
Post a Comment