Keistimewaan yang di miliki Aswaja ala Nahdlotul Ulama
Oleh;
KH. Afifuddin Muhajir.
Islam
sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang
membedakannya dari agama lain. Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah
tawassuth, ta’adul, dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki
arti yang sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan
tersebut bisa disatukan menjadi “wasathiyah”. Watak wasathiyah Islam ini
dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ
أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ
شَهِيدًا
“Dan
demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan
pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad
SAW) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah;143)
Nabi
Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata وَسَطًا dalam firman Allah di atas dengan
adil, yang berarti fair dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perubahan fatwa
karena perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena
perbedaan kondisi dan psikologi seseorang adalah adil.Selain ayat di atas, ada
beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam,
misalnya firman Allah:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً
إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
“Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS.
Al-Isra’: 29)
Dalam
firman-Nya yang lain,
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ
وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Dan
janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula
merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra’:
110)
Sementara
dalam hadits dikatakan,
خَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
“Sebaik-baik
persoalan adalah sikap-sikap moderat.”
Mirip
dengan hadits di atas adalah riwayat,
وَخَيْرُ اْلأَعْمَالِ أَوْسَطُهَا
وَدِيْنُ اللهِ بَيْنَ الْقَاسِىْ وَالْغَالِىْ
“Dan
sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu berada
di antara yang beku dan yang mendidih.”
Wasathiyyah
yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian
sebagai berikut:
Pertama,
keadilan di antara dua kezhaliman (عدل بين ظلمين) atau kebenaran di antara dua
kebatilan (حق بين باطلين), seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme.
Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang
memercayai adanya banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme
dan tidak pula paham poletheisme, melainkan paham monotheisme, yakni paham yang
memercayai Tuhan Yang Esa. Begitu juga wasathiyyah antara boros dan kikir yang
menunjuk pada pengertian tidak boros dan tidak kikir. Artinya, Islam
mengajarkan agar seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula
boros, melainkan ada di antara keduanya, yaitu al-karam dan al-jud. Allah
berfirman;
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا
لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)
Kedua,
pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya, (a). wasathiyyah
antara rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memerhatikan
aspek rohani saja atau jasmani saja, melainkan memerhatikan keduanya.
Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid. Itu berarti Islam tak hanya fokus pada
nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya. (b). Islam
pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara `aql dan naql. Bagi Islam, akal
dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting yang
sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu sama lain). Kalau
diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai syahid (saksi) sementara
wahyu sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu
sebagai syahid. (c). Islam menjaga
keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat, antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu’,
antara sarana (wasilah) dan tujuan (ghayah), antara optimis dan pesimis, dan
seterusnya.
Ketiga,
realistis (wâqi’iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu
idealistis. Islam memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk
mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam
tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai
hal-hal yang sangat tidak ideal. Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas
daripada terus menggantung di langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti
bahwa Islam menyerah pada pada realitas yang terjadi, melainkan justru
memerhatikan realitas sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas. Contoh
wasathiyyah dalam arti waqi’iyyah ini adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam
kondisi normal dan hukum rukhshah dalam kondisi dharurat atau hajat.
Watak
wasathiyyah dalam Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam semua aspek
ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj. Dalam
jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah,
watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
- Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti ijma’ dan qiyas.
- Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali harus bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang diyakini penisbatannya kepada ashabul madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk bermadzhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan bermadzhab secara qauli. Pola bermadzhab dalam NU berlaku dalam semua aspek ajaran Islam; aqidah, syariah/fiqh, dan akhlaq/tasawwuf, seperti dalam rincian berikut: (a). Di bidang syariah/fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari madzhab empat, yaitu madzhab Imam Abu Hanifah, Madzhab Imam Malik ibn Anas, madzhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafii dan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. (b). Di bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan madzhab Imam Abu Manshur al-Maturidi. (c). Di bidang akhlaq/tasawuf mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan madzhab Imam Abu Hamid al-Ghazali.
- Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna.
- Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah (realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan tetap berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa.
- Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi menuduh mereka kafir.
- Tidak menganggap siapapun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa).
- Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdhatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut.
- Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim, ahlul qiblah.
- Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU, menjaga ukhuwwah nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan seluruh warga NU.
- Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub ilallah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. (Munawir)
Post a Comment