Madzhab Dalam Fiqh
Secara
etimologi, kata madzhab berarti pergi atau pendapat. Di dalam kamus al-Muhith,
kata madzhab berarti ath-Thoriqoh (jalan). Sedangkan secara terminology
madzhab adalah jalan pikiran atau pendapat yang ditempuh oleh seorang mujtahid
dalam menetapkan hokum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits
(Huzaemah. Loc. Cit). Menurut KH. Zainal Abidin Dimyathi, madzhab adalah hukum
dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam
mujtahid (al-Idzaa’atul Muhimmah 18).
Madzhab terbentuk oleh adanya beberapa perso’alan yang masih menjadi
perselisihan dikalangan ulama, kemudian hasil ijtihad ulama’ itu disebarluaskan
serta di amalkan oleh para pengikutnya. Madzhab tidak
terbentuk dari hokum qoth’i dan telah disepakati oleh para ulama’.
Misalnya kewajiban sholat, keharaman zina dan lain-lain. Jadi madzhab itu
merupakan hasil penelitihan yang mendalam dari para ulama mujtahid dalam rangka
meng-istinbath dan mengurai secara jelas hokum Tuhan yang ada dalam al-Qur’an
dan al-Hadits.
Seperti yang telah dikatakan oleh Sayyid ‘Alawi bin Ahmad Assegaf dalam Majmu’atus
Sab’ati kutubin Mufidah, “Sebenarnya madzhab yang boleh di ikuti
tidak hanya terbatas pada empat madzhab saja,( Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali) bahkan masih banyak madzhab ulama yang boleh diikuti, seperti madzhab
Sufyan Atstsauri dan Sufyan bin Uyainah, madzhab Ishaq bin Rohawaih, Imam Daud
adz-Dzohiri dan al-Auza’I”. Namun kenapa yang di
akui serta di amalkan oleh golongan Ahlussunnah wal Jama’ah hanya empat madzhab
saja? Sebenarnya yang menjadi salah satu faktornya adalah tidak lepas dari
murid-murid mereka yang kreatif membukukan pendapat-pendapat guru-guru mereka,
sehingga semua pendapat dapat terkondifikasikan dengan baik dan menjadi
pendapat-pendapat yang validitasnya tidak diragukan lagi. Selain memang madzhab
empat telah teruji keshohihannya, karena memiliki metode istinbath yang jelas
dan telah tersistimatisasi dengan baik, sehingga bisa dipertanggung jawabkan
secara ilmiah.
Madzhab
Hanafi
Pendiri madzhab
ini adalah Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir di Kufah pada
tahun 80 Hijriyah, dan wafat pada tahun 150 hijriyah. Madzhab ini dikenal
sebagai madzhab Ahli Qiyas, karena hadits yang sampai ke Irak sangat sedikit,
sehingga beliau banyak mempergunakan qiyas. Beliau adalah ulama yang sangat
cerdas, penyayang, ahli tahajjud, wira’i, dan banyak membaca al-Qur’an. Madzhab
ini dulu pernah menjadi madzhab pemeritah pada masa Kholifah Harun ar-Rasyid.
Madzhab
Maliki
Pendirinya
adalah Imam Malik bin Anas. Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 93 Hijriyah
dan wafat pada tahun 179 Hijriyah. Madzhab ini dikenal sebagai madzhab Ahli
Hadits, bahkan Imam Malik lebih mengutamakan perbuatan penduduk Madinah
daripada hadits yang diriwayatkan oleh perorangan. Karena bagi beliau perbuatan
penduduk Madinah termasuk hadits mutawattir, dan mustahil mereka berbuat
sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Rasulullah saw. Imam Malik dikenal
sebagai orang yang sangat mencintai dan menghormat Rasulullah saw, sehingga
beliau tidak pernah naik onta di kota
Madinah karena ada makam Rasulullah saw.
Madzhab
Syafi’i
Pendiri madzhab
ini adalah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Quraisyi, lahir di Ghuzzah
pada tahun 150 Hijriyah dan wafat di Mesir pada tahun 204 Hijriyah. Beliau hafal
al-Qur’an 30 juz saat berusia 7 tahun, dikenal pandai, cerdas dan selalu
menonjol dalam forum diskusi. Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal
dengan madzhab Ahli Hadits, kemudian beliau belajar juga kepada ulama-ulama
Irak yang dikenal dengan madzhab Qiyas. Dari sini beliau berusaha menyatukan
kedua madzhab tersebut. Beliau adalah seorang yang amanah, adil, zuhud, wira’i,
bertaqwa, pemurah, reputasinya baik dan memiliki kedudukan yang mulia.
Madzhab Hambali
Pendirinya
adalah Imam Ahmad bin Hambal asy-Syaibani, lahir di Bagdad pada tahun 164
Hijriyah dan wafat pada tahun 248 Hijriyah. Beliau adalah murid Imam Syafi’i
yang tidak pernah pisah sampai Imam Syafi’i pergi ke Mesir. Menurut Imam
Hambali hadits dlo’if tidak bisa untuk menentukan hokum, tetapi bisa di
pergunakan untuk fadlooilul a’mal. Beliau tidak mengakui adanya
ijma’ setelah sahabat, karena ulama’ sangat banyak dan tersebar luas
dimana-mana.
Post a Comment