Sumber Hukum Islam
Memperbincangkan sumber hukum Islam, tentunya al-Qur’an
merupakan sumber pertama dan utama dalam pengambilan hukum, karena al-Qur’an
adalah kalamullah petunjuk bagi umat manusia yang tidak di ragukan lagi
kebenarannya.
Sumber hukum yang kedua adalah al-Hadits, yaitu segala
sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perbuatan, ucapan serta
pengakuan atau ketetapan beliau.“Dan apa yang telah Rasul berikan kepadamu
maka ambil-lah, dan apa yang telah Rasul larang maka berhentilah, dan
bertaqwalah kamu kepada Allah”. (QS. Al-Hasyr 7). “Dan tidaklah Rasul
berucap dari hawa nafsunya, ucapan itu semata-mata hanyalah wahyu yang telah di
wahyukan kepadanya”. (QS. An-Najm 3-4).
Sumber hukum yang ketiga adalah Ijma’, yaitu kesepakatan para
ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Karena pada masa
hidup beliau seluruh persoalan hukum kembali kepada beliau, setelah beliau
wafat maka hukum dikembalikan kepada para sahabat dan ulama’-ulama’ mujtahid. “Dari
Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda. “Sesungguhnya Sahabat-sahabatku ibarat
bintang-bintang, dengan siapapun kamu mengikutinya maka kamu akan mendapat
petunjuk”. “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun umatku atas melakukan kesesatan
dan perlindungan Allah menyertai himpunan (kumpulan). (Sunan
Turmudzi). “Hai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah, kepada
Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu”. (QS. an-Nisa’. 59) Selanjutnya
dalam kitab Faidlul Qodir juga disebutkan sebuah hadist “Sesungguhnya umatku
tidak berkumpul atas kesesatan, maka apabila kamu melihat adanya perselisihan,
maka hendaknya kamu mengikuti golongan yang terbanyak”.
Sumber hukum yang terakhir yaitu Qiyas, artinya, menyamakan
sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya kesamaan illat atau
sebab. Ibnu Hajib berkata, Qiyas adalah menyamakan hukum cabang (far’)
terhadap hukum asal (ashl) karena ada kesamaan illat hukumnya.
Di dalam menentukan sumber hukum Qiyas harus ada ashlu, far’u,
hukmu dan illat. Contoh Qiyas adalah seperti
menqiaskan atau menyamakan hukum beras dengan hukum gandum yang wajib di zakati
karena ada kesamaan illatul hukmi-nya atau sebab hukumnya, yaitu
sama-sama makanan pokok. Gandum sebagai pokok (ashlu) karena
kewajiban men-zakatinya disebutkan dalam hadits, lalu far’u-nya adalah beras
yang tidak disinggung dalam al-Qur’an dan al-Hadits, hukmu-nya adalah
gandum wajib dizakati, illat-nya adalah sama-sama makanan pokok. Benang
merahnya, beras wajib di zakati karena disamakan hukumnya dengan gandum,
meskipun beras tidak tercantum dalam hadits. Tetapi karena latar belakangnya
gandum wajib di zakati karena ia adalah makanan pokok dan beras juga makanan
pokok, berarti keduanya mempunyai kesamaan. Dari kesamaan yang ada inilah
timbul pengqiyasan hukum. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam
syari’at Islam. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 2, “Ambillah
ibarat (pelajaran dari kejadian itu) wahai orang-orang yang mempunyai
pandangan”.
Keempat sumber hukum di atas harus digunakan secara berurutan, artinya
ketika memutuskan suatu persoalan hukum, maka yang pertama kali di lihat adalah
al-Qur’an. Jika tidak ditemukan dalil nash yang shorih dalam al-Qur’an, maka
mencarinya di dalam hadits. Jika tidak ada, maka menela’ah ijma’. Jika masih
tidak temukan, maka yang terakhir adalah dengan menggunakan qiyas. Waallohu
a’lam bis Showab.
Post a Comment