Mbah Mutamakkin Margoyoso Pati
Syekh Ahmad
Mutamakkin atau yang lebih dikenal dengan nama Mbah Mutamakkin itu. Beliau
hidup di masa pemerintahan Amangkurat IV sampai dengan Paku Buwono II sekitar
abad XVIII. Beliau menyebarkan agama Islam di desa Kajen, Margoyoso, Pati Jawa
Tengah, terletak 18 km utara kota Pati.
Banyak versi
mengenai asal-usul beliau. Pertama, beliau berasal dari desa Cebolek daerah
Tuban Jawa Timur. Kedua, berasal dari desa Cebolek juga, tetapi Cebolek yang
berada di timur desa Kajen di Pati, Jawa Tengah. Ketiga, beliau dari Persia
(Zabul), Propinsi Kasan, Iran selatan, seperti yang pernah diungkapkan Gus Dur
pada Munas RMI IV. Dan pendapat yang valid sementara ini, beliau berasal dari
Cebolek Tuban, Jawa Timur, seperti yang tertulis di Serat Cebolek.
Bagaimana Mbah
Mutamakkin bisa sampai ke Kajen? Beliau mengawali misi dakwah Islamnya melalui
perjalanan dari Kalipang, sebuah daerah di Sarang, Rembang. Lalu pergi ke desa
Cebolek, Pati untuk menetap beberapa lama. Ada sebuah kejadian yang membuat
beliau pergi ke Kajen, Pati. Suatu ketika, saat akan melakukan shalat isya’,
beliau melihat sebuah cahaya menjulang keatas dari arah barat, beliau ingin
tahu apa yang terjadi. Lalu pergi esok harinya setelah ashar untuk membuktikan
isyarat itu. Maka sampailah beliau pada sebuah gundukan tanah yang berada di
sebelah barat Mathaliul Falah.
Disitu beliau
bertemu seorang lelaki yang sudah (ber)haji bernama Syamsuddin. Konon, beliau
adalah orang yang pertama kali melakukan ibadah haji di desa tersebut. Atas
dasar itulah desa itu dinamakan Kajen (Jawa: kaji ijen). Satu-satunya orang
yang sudah haji. Kemudian haji Syamsuddin menyerahkan desa Kajen kepada Mbah
Mutamakkin. Tentunya, untuk mendakwahkan agama Islam di desa Kajen. Pada
masanya, beliau adalah seorang alim yang punya karakteristik “aneh” /Qawariqul
Adah. Kenapa aneh? karena beliau, seorang ‘alim, memelihara dua ekor anjing.
Kontan, kebanyakan ulama pada masa itu menganggap apa yang dilakukan Mbah
Mutamakkin bertentangan dengan ajaran Islam. Kenapa sampai bisa beliau memelihara
dua ekor anjing? Shahibul riwayat, menuturkan.
Beliau
mendalami agama Islam dengan tekun dan sungguh- sungguh, disamping itu, beliau
juga melakukan riyadhah. Riyadhah berarti melatih jiwa dari serangan hawa
nafsu. Beliau lakukan dengan banyak cara. Diantaranya dengan mengurangi minum,
makan dan tidur. Puncaknya, dalam rangka mengendalikan hawa nafsu, beliau
melakukan puasa 40 hari dan malam.
Pada hari ke-40
Mbah Mutamakkin meminta istrinya untuk menghidangkan makanan yang paling enak
di hadapannya, dan meminta istrinya untuk mengikat tubuhnya pada tiang di
rumah. Ada yang bilang : mengikat erat. Setelah itu, Mbah Mutamakkin
mengendalikan hawa nafsunya sekuat tenaga. Atas kehendak dan ijin Allah, beliau
mampu mengendalikannya. Saat nafsu dan syahwatnya keluar, keduanya menjelma
menjadi dua ekor anjing. (Ada yang bilang seekor anjing dan seekor singa.)
Kedua ekor anjing tersebut ingin masuk kembali, tapi beliau tolak.
Kemudian, kedua
hewan tersebut dinamai Abdul Qahar dan Qamaruddin . Hal inilah yang kemudian
menuai pertentangan. Karena dua ekor anjing dinamai dengan nama manusia. Hal
ini mengisyaratkan bahwa manusia yang tak bisa mengendalikan hawa nafsu, sama
seperti anjing. Selain karakter “aneh” yang tadi, beliau juga punya keanehan
lain.
menonton wayang
kisah Dewa Ruci dan Bima Sakti. Karena kealiman dan kontroversinya, namanya
langsung terdengar hingga keraton Mataram Islam. Kejadiannya ketika beliau
menerima seorang musafir dan menyuguhinya dengan berkat dengan lauk ikan
kering. Tamu alias musafir tadi makan dengan lahapnya. Sambil menemani, Mbah
Mutamakkin menguji mental tamunya dengan kata sindirian. Dengan tersenyum,
beliau berkata: anjing saya saja tidak suka ikan kering, tapi kamu melahapnya
sampai tak tersisa. Sontak tamu tadi tertampar dan terhina.
Seketika itu
dia pulang dengan naik pitam, lalu membuka rahasia- rahasia Mbah Mutamakkin
dengan buat selebaran. Selebaran itu berisi bahwa seorang alim, yang bernama
Ahmad Mutamakkin memelihara dua ekor anjing dan gemar menonton wayang Dewa Ruci
dan Bima Sakti. Lalu keadaan gempar. Kabar tersiar hingga Mataram. Ulama
sepakat mengadili Mbah Mutamakkin di Kartasura. Dalam sidang itu hadir Kiai
Ketib Anom (Kudus), Kiai Witana (Surabaya), Kiai Busu (Gresik) dan ulama
lainnya utk mengadili Mbah Mutamakkin.
Peristiwa ini
berlangsung pada 1725-1726 pada pemerintahan Amangkurat IV dan Pakubuwono II.
Pada 1725, raja mengundang ulama, aparatur pemerintah dan undangan lainnya ke
Kartasura. Semuanya berjumlah 142 orang. Diantaranya ada 44 tokoh terpandang
dan 11 ulama terkemuka. Perlu diketahui, ketika berangkat untuk diadili, Mbah
Mutamakkin sama sekali tidak sedih, bahkan tegar.
Karena yakin
dengan prinsipnya. Suasana tegang, raja meminta Raden Demang Irmawan (seorang
utusan) untuk mengumpulkan info mengenai apa yang terjadi. Setelah mendengarkan
keterangan dari Raden Demang Irmawan, maka Mbah Mutamakkin dipanggil untuk
menghadap raja lewat serambi belakang. Setelah sampai, Mbah Mutamakkin diminta
raja untuk beretrus terang bicara mengenai ilmu dan pedoman beliau.
Berkali-kali raja mendesaknya, dan Mbah Mutamakkin menolak, karena mengingat
amanat gurunya, sampai akhirnya, beliau pun berkata: “Apabila paduka bersedia
hamba bai’at menjadi murid terlebih dahulu, barulah hamba menunjukkannya.”
Singkat cerita. Lalu paduka raja diajak berjabat tangan dan diberi wejangan
yang membuat hatinya tenang.
Selesai
pembai’atan, maka raja berkata dengan sendirinya ” apabila aku tidak menuntut
ilmu dari KH. Ahmad Mutamakkin ini, niscaya aku akan mati kafir”. Bagaimana
bisa? orang yang dituduh sesat oleh para ulama justru dijadikan guru oleh raja.
Entahlah, tidak ada yang tahu isi percakapan lengkap antara Mbah Mutamakkin
dengan paduka raja. Lalu raja mengeluarkan keputusan yang berisi: Pertama,
persoalan mengenai KH . Ahmad Mutamakkin dianggap selesai dan dinyatakan bebas
dari hukuman. Kedua, dianjurkan kepada seluruh pihak agar menaati titah paduka
raja.
Dalam
menyebarkan agama Islam, tentu tidaklah sedikit cobaan yang datang. Sebagai
salah seorang Wali, begitu masyarakat menasbihkan, beliau memperjuangkan Islam
di desa Kajen hingga jadi desa santri. Dan dari beliaulah, muncul murid-murid
seperti Kyai Ronggokusumo (Ngemplak), Kyai Mizan (Margatuhu), keduanya di Pati,
dan Raden Sholeh. Yang murid-murid beliau tadi menurunkan ulama-ulama yang
dalam ilmunya sekaliber KH. Abdullah Salam (Mbah Dullah Salam), KH. Mahfudh
Salam. Keduanya adalah paman dan ayah dari seorang yang alim dan mumpuni dalam
agama, yaitu KH MA Sahal Mahfudh (Mbah Sahal Mahfudh). Dan keturunan dari Mbah
Mutamakkin mendirikan pesantren-pesantren di desa Kajen dan sekitarnya yang
jumlahnya 40-an dan terdapat 8000-an santri.
Mbah Mutamakkin
wafat pada 10 muharram, tak diketahui tahun pastinya, namun haulnya diperingati
setiap tahun sampai sekarang. Terlepas dari kontroversinya, beliau adalah salah
seorang wali yang sangat dalam ilmu agama. tentunya, Mbah Mutamakkin
benar-benar memperhitungkan setiap perilaku keberagamaannya. ……..Sumber : kangsoma.com
Post a Comment