Islam Nusantara
A. Mukadimah
Pakar sejarah
Ibn Khaldun (1332-1406 M) dalam karyanya, Muqaddimah (37-38) mengatakan:
أَنَّ أَحْوَالَ
الْعَالَمِ وَالْأُمَمِ وَعَوَائِدَهُمْ وَنِحَلَهُمْ لَا تَدُومُ عَلىٰ وَتِيرَةٍ
وَاحِدَةٍ وَمِنْهَاجٍ مُسْتَقِرٍّ، إِنَّمَا هُوَ اخْتِلَافٌ عَلىٰ الْأَيَّامِ
وَالْأَزْمِنَةِ، وَانْتِقَالٌ مِنْ حَالٍ إِلىٰ حَالٍ. وَكَمَا يَكُونُ ذٰلِكَ
فِي الْأَشْخَاصِ وَالْأَوْقَاتِ وَالْأَمْصَارِ، فَكَذٰلِكَ يَقَعُ فِي الْآفَاقِ
وَالْأَقْطَارِ وَالْأَزْمِنَةِ وَالدُّوَلِ سُنَّةُ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ
فِي عِبَادِهِ
“Sungguh keadaan dunia, bangsa-bangsa, adat-istiadat dan keyakinan mereka
tidak selalu mengikuti satu model dan sistem yang tetap, melainkan selalu
berbeda-beda (berubah) seiring perjalanan hari dan masa, berpindah dari satu
kondisi menuju kondisi lainnya. Sebagaimana hal itu terjadi
pada manusia, waktu, dan kota, di berbagai kawasan, zaman, dan negeri juga
terjadi/berlangsung sunnah Allah (sunnatullah) yang telah terjadi pada
hamba-hambaNya.”
Di bumi
Nusantara (Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI) terdapat tradisi dan budaya
dalam sistem pengimplementasian ajaran agama, sehingga hal itu menjadi ciri
khas Islam di Nusantara yang tidak dimililiki dan tidak ada di negeri lain.
Perbedaan tersebut sangat tampak dan dapat dilihat secara riil dalam beberapa
hal, antara lain:
1.
Dalam implementasi amalan Islam di Nusantara ada tradisi halal bihalal
setiap tahun, haul, silaturrahim setiap hari raya (Idul Fitri), hari raya
ketupat, baca solawat diiringi terbangan, sedekahan yang diistilahkan selamatan
7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari, tingkepan, sepasaran bayi, sepasaran
pengantin, arak-arak pengantin yang meliputi undang mantu, ngunduh mantu,
sekaligus diadakan Walimatul 'Urs baik oleh keluarhga wanita maupun keluarga
laki-laki,dan tradisi lainnya.
2.
Dalam hal
berpakaian ada yang memakai sarung, berkopyah, pakaian adat Betawi, Jawa,
Papua, Bali, Madura, dan masih banyak model pakian adat lain, terutama telihat
dalam pakian pernikahan dimana pengantin dirias dan dipajang di pelaminan, dan
lain sebagainya.
3.
Dalam hal
toleransi pengamalan ajaran Islam, ada yang solat Id di lapangan, di masjid,
musalla, bahkan ada hari raya dua kali. Ada yang shalat tarawih 20 rakaat, ada
pula yang delapan rakaat. Di antara pelaksanaan tarawih ada yang memisahnya
dengan taradhi bagi empat al-Khulafa' ar-Rasyidin, dengan shalawat, dan ada
yang memisahnya dengan doa. Dalam acara akikah ada yang diisi dengan
shalawatan, dan ada yang diisi tahlilan, dan selainnya.
4.
Dalam hal
toleransi dengan budaya yang mengandung sejarah atau ajaran, ada di sebagian
daerah dilarang menyembelih sapi seperti di Kudus Jawa tengah yang konon
merupakan bentuk toleransi Sunan Kudus pada ajaran Hindu yang menyucikannya,
adat pengantin dengan menggunakan janur kuning, kembang mayang, dan selainnya.
5.
Dalam
toleransi dengan agama lain ada hari libur nasional karena hari raya Islam,
hari raya Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan ada hari libur lainnya.
Kemudian
Islam Nusantara menjadi tema utama pada Muktamar NU ke 33 di Jombang. Munculnya
istilah Islam Nusantara mengundang reaksi yang beragam, baik yang pro maupun
yang kontra sejak sebelum muktamar digelar sampai sekarang. Karena itu, PW LBM
NU Jawa Timur memandang sangat perlu membuat rumusan tentang Islam Nusantara
secara objektif dan komprehensif dalam rangka menyatukan persepsi tentang Islam
Nusantara.
B. Pembahasan
1. Maksud
Islam Nusantara
Islam adalah
agama yang dibawa Rasulullah Saw, sedangkan kata “Nusantara” menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, adalah sebutan atau nama bagi seluruh kepulauan
Indonesia. Wikipedia menambahkan, wilayah kepulauan yang membentang dari
Sumatera sampai Papua itu, sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara
Indonesia.
Ketika
penggunaan nama “Indonesia” (berarti Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai
untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan
Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia.
Sebenarnya
belum ada pengertian definitif bagi Islam Nusantara. Namun demikian Islam
Nusantara yang dimaksud NU adalah: a) Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang
diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan di bumi Nusantara oleh para
pendakwahnya, yang di antara tujuannya untuk mengantisipasi dan membentengi
umat dari paham radikalisme, liberalisme, Syi’ah, Wahabi, dan paham-paham lain
yang tidak sejalan dengan Ahlussunnah wal Jamaah, sebagaimana tersirat dalam
penjelasan Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari dalam
Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah (h. 9):
فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ
تَمَسُّكِ أَهْلِ جَاوَى بِمَذْهَبِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ، وَبَيَانِ
ابْتِدَاءِ ظُهُوْرِ البِدَعِ وَانْتِشَارِهَا فِي أَرْضِ جَاوَى، وَبَيَانِ
أَنْوَاعِ المُبْتَدِعِيْنَ فِي هَذَا الزَّمَانِ. قَدْ كَانَ مُسْلِمُوْا
الأَقْطَارِ الجَاوِيَّةِ فِي الأَزْمَانِ السَّالِفَةِ الخَالِيَةِ مُتَّفِقِي
الآرَاءِ وَالمَذْهَبِ وَمُتَّحِدِي المَأْخَذِ وَالمَشْرَبِ، فَكُلُّهُمْ فِي
الفِقْهِ عَلَى المَذْهَبِ النَّفِيْسِ مَذْهَبِ الإِمَامِ مُحَمَّدِ بْنِ
إِدْرِيْس، وَفِي أُصُوْلِ الدِّيْنِ عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ أَبِي الحَسَنِ الأَشْعَرِي،
وَفِي التَّصَوُّفِ عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ الغَزالِي وَالإِمَامِ أَبِي
الحَسَنِ الشَّاذِلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ.
Selain itu, Islam Nusantara menurut NU juga dimaksudkan sebagai b) metode
(manhaj) dakwah Islam di bumi Nusantara di tengah penduduknya yang multi etnis,
multi budaya, dan multi agama yang dilakukan secara santun dan damai, seperti
tersirat dalam pernyataan Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori Tuban dalam Ahla
al-Musamarah fi Hikayah al-Aulia' al-'Asyrah, (h. 23-24) saat menghikayatkan
dakwah santun Sayyid Rahmad (Sunan Ampel):
ثم قال السيد رحمة
أنه لم يوجد في هذه الجزيرة مسلم إلا أنا وأخي السيد رجا فنديتا وصاحبي أبو هريرة.
فنحن أول مسلم في جريرة جاوه ... فلم يزل السيد رحمة يدعون الناس إلى دين الله
تعالى وإلى عبادته حتى أتبعه في الإسلام جميع أهل عمفيل وما حوله وأكثر أهل سوربايا.
وما ذلك إلا بحسن موعظته وحكمته في الدعوة وحسن خلقه مع الناس وحسن مجادلتهم إياهم
امتثالا لقوله تعالى: ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ الآية (النحل: 125) وقوله
تعالى: وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ (الحجر: 88)،
وقوله تعالى: وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى
مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (لقمان: 17). وهكذا ينبغي أن
يكون أئمة المسلمين ومشايخهم على هذه الطريقة حتى يكون الناس يدخلون في دين الله
أفواجا.
Dalam kitab yang sama, Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori juga memaparkan dakwah
Maulana Ishaq (paman Sunan Ampel) yang didahului dengan khalwat untuk riyadhah
(tirakat) menjaga konsistensi mengamalkan syariat, baik ibadah fardhu maupun
sunnah. Kemudian dengan karamahnya mampu menyembuhkan
Dewi Sekardadu putri Minak Sembayu Raja Blambangan Banyuwangi yang sedang sakit
dan tidak dapat disembuhkan para Tabib saat itu, sehingga dinikahkan dengannya
dan diberi hadiah separuh wilayah Blambangan. Jasa besar, posisi strategis, dan
keistikamahan dakwahnya menjadi sebab keberhasilan dakwahnya mengislamkan
banyak penduduk Blambangan, Banyuwangi (Ahla al-Musamarah, h. 24-26).
2. Metode Dakwah Islam Nusantara
Sampai kini
masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan sejarawan tentang masuknya Islam
di Nusantara. Di antara yang menjelaskannya adalah Ulama Nusantara Syaikh Abu
al-Fadhl as-Senori dalam Ahla al-Musamarah, Islam masuk ke Nusantara (Jawa
secara lebih khusus) pada akhir abad keenam Hijriyyah, bersamaan dengan
kedatangan Sayyid Rahmat dan Sayyid Raja Pandita dari Negeri Campa (Vietnam
sekarang) ke Majapahit untuk menjenguk Bibinya Martanigrum yang menjadi istri
Raja Brawijaya. Sementara menurut Sayyid Muhammad Dhiya' Syahab, dalam
ta'liqatnya atas kitab Syams azh-Zhahirah, Sayyid Ali Rahmat datang ke Jawa
pada 751 H (1351 M). Meskipun demikian, semua sepakat bahwa Islam masuk ke
Nusantara dengan dakwah santun dan penuh hikmah.
Metode dakwah
Islam Nusantara yang ramah, santun dan penuh hikmah, setidaknya meliputi metode
dakwah Islam Nusantara masa Walisongo dan masa kekinian. Pertama,
metode dakwah Islam Nusantara pada masa Walisongo sebagaimana tergambar dalam
Ahla al-Musamarah fi al-Auliya' al-'Asyrah yang antara lain dengan:
a.
Pendidikan: pendidikan agama
Islam yang kokoh meliputi syariat, tarekat, dan hakikat sebagaimana pendidikan
yang dilangsungkan oleh Sunan Ampel.
b.
Kaderisasi: menghasilkan
generasi penerus yang konsisten menjalankan syariat, riyadhah, dan menjauhi
segala kemungkaran, sehingga mampu menjadi pimpinan yang mengayomi sekaligus
disegani di tengah masyarakatnya dan mampu mengajaknya untuk memeluk agama
Islam, seperti halnya yang dilakukan oleh Sunan Ampel dan Pamannya, Maulana
Ishaq dalam mendidik anak-anak dan murid-muridnya.
c.
Dakwah: konsistensi menjalankan dakwah yang ramah dan penuh kesantunan
sebagaimana dakwah Walisongo sehingga menarik simpati dan relatif diterima
masyarakat luas.
d.
Jaringan: jaringan dakwah yang kokoh, sistematis, dan terorganisir,
penyebaran murid-murid Sunan Ampel. Sunan Bonang di Lasem dan Tuban, Sunan
Gunungjati di Cirebon, Sunan Giri di Tandes, Raden Fatah di Bintoro, Sunan
Drajat di Lamongan dan Sedayu, dan selainnya.
e.
Budaya: seperti pendirian masjid sebagai pusat peradaban Islam, seperti masjid
Ampel, Masjid Demak.
f.
Politik: politik li i'lai kalimatillah yang bersentral pada musyawarah
ulama.
Referensi:
a.
Ahla
al-Musamarah, h. 14-48
b.
Syams
azh-Zhahirah, I/525
Kedua, metode dakwah
Islam Nusantara di masa kini secara prinsip sama dengan metode dakwah di masa
Walisongo, meskipun dalam strateginya perlu dilakukan dinamisasi sesuai
tantangan zaman, dengan tetap berpijak pada aturan syar’i. Secara terperinci
metode tersebut dapat dilakukan dengan:
a.
Berdakwah dengan hikmah, mau'izhah hasanah, dan berdialog dengan penuh
kesantunan
b.
Toleran terhadap budaya lokal tidak bertentangan dengan agama.
c.
Memberi teladan dengan al-akhlak al-karimah.
d.
Memprioritaskan mashlahah 'ammah daripada mashlahah khasshah.
e.
Berprinsip irtikab akhaff ad-dhararain.
f.
Berprinsip dar' al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih.
Ulama sepakat mashlahah yang dijadikan dasar adalah mashlahah yang punya
pijakan syariat, sehingga mashlahah yang mengikuti hawa nafsu ditolak. Sebab, bila mashlahah dikembalikan kepada manusia maka standarnya
akan berbeda-beda sesuai kepentingan masing-masing. Inilah yang
melatarbelakangi rumusan fikih dikembalikan pada madzahib mudawwan (mazhab yang
terkodifikasi). Allah Swt berfirman:
يُوصِيكُمُ اللهُ
فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء
فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن
كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ
فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ
أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ
عَلِيما حَكِيمًا. (النساء: 11) وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ
لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ. (المؤمنون: 71). اَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُن مِّن
الْمُمْتَرِينَ (آل عمران: 60(
Imam
al-Ghazali dalam al-Mustashfa mengatakan, orang menganggap mashlahah tanpa
dasar dalil syar'i maka batal. Beliau juga mengatakan, mashlahah yang
dilegalkan syara' adalah menjaga al-kulliyah al-khams, yakni:
a.
Melindungi
agama
b.
Melindungi
nyawa
c.
Melindungi
akal
d.
Melilndungi
keturunan
e.
Melindungi
harta.
Terkait mashlahah mursalah atau munasib mursal yang diutarakan Imam Malik,
maka Fuqaha Syafi'iyyah, Hanafiyah dan bahkan Ashab Imam Malik sendiri telah
melarang mencentuskan hukum dengan dalil mashlahah mursalah. Lalu apa maksud maslahah mursalah Imam Malik ini? Jika Imam Malik
memang melegalkan mashlahah mursalah, maka ulama menginterpretasikan bahwa yang
dimaksud Imam Malik adalah al-mashlahah ad-dharuriyyah al-kulliyyah
al-qath'iyyah, bukan dalam setiap mashlahah. Seperti halnya dalam kondisi
perang, tentara kafir menjadikan sejumlah orang Islam sebagai perisai, padahal
andaikan mereka berhasil menerobos maka berakibat fatal karena dapat
menguasai/menjajah negeri kaum Muslimin, sedangkan bila diserang jelas-jelas
akan menjamin keamanan bagi kaum Muslimin yang lebih banyak, namun pasti
mengorbankan sejumlah orang Islam yang dijadikan sebagai perisai tersebut.
Dalam kasus ini, penyerangan terhadap mereka sangat ideal dan kemaslahatannya
sangat nyata (termasuk kategori al-mashlahah ad-dharuriyyah al-kulliyyah
al-qath'iyyah), meskipun tidak terdapat penjelasan dari syara' apakah dii'tibar
atau diilgha'kan. Dalam kasus ini Imam Malik membolehkan penyerangan dengan dalil
mashlahah mursalah, tidak dalam semua mashlahah.
Cara
mengaplikasikan kaidah maslahah dalam realitas saat ini adalah dengan:
a.
Mengembalikannya
pada dalil-dalil syariat.
b.
Bemilah-milah
antara hukum yang bersifat ta'abbudi (dogmatif) dengan hukum ta'aqquli (yang
diketahui maksudnya).
c.
Membedakan
antara hikmah dan 'illat.
Referensi:
a.
Al-Bahr
al-Madid, IV/95.
b.
Tafsir
al-Bahr al-Muhith, VI/48.
c.
Al-Mahshul
fi 'Ilm al-Ushul, V/172-175.
d.
Al-Mustashfa,
VI/48.
e.
Al-Ihkam,
IV/160.
f.
At-Taqrir
wa at-Tahbir, III/149.
g.
Tafsir
al-Bahr al-Muhith, VI/48.
h.
Tafsir
al-Bahr al-Muhith, VI/48.
3.
Landasan dalam Menyikapi Tradisi/Budaya
Islam tidak
anti terhadap tradisi/budaya, bahkan sebaliknya Islam akomodatif padanya. Hal
ini setidaknya dapat dibuktikan dengan dua hal, yaitu berbagai ayat al-Qur'an
dan hadits yang dalam redaksinya mengakomodir tradisi/budaya; dan beberapa
tradisi/budaya jahiliyah menjadi ajaran Islam. Selain itu, dakwah Islam di
Nusantara ketika berhadapan dengan berbagai tradisi/budaya bisa dilakukan
dengan berbagai pendekatan sebagaimana akan dijelaskan.
a. Redaksi
Ayat al-Qur'an dan hadits yang Mengakomodir Tradisi/Budaya Masyarakat
Pertama, ayat tentang riba:
يا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (آل عمران :13(
Jika
dipahahami dari makna literalnya, riba yang dilarang dalam ayat ini hanya riba
yang berlipat-ganda, bukan riba yang sedikit. Tetapi tidak ada satupun pendapat
Imam Mujtahid yang membolehkannya meskipun sedikit. Sebab kata أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً merupakan pengakomodasian budaya kafir
jahiliyyah dimana saat itu mereka berlomba-lomba dan bangga dengan riba yang
berlipat ganda.
Kedua, ayat tentang menikahi anak tiri:
وَرَبَائِبُكُمُ
اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنِ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ
لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُم (النساء: 23(
Secara
literal ayat ini hanya menyebutkan keharaman menikahi anak tiri yang ibunya
sudah disetubuhi jika anak tiri tersebut dirawat ayah tirinya. Tapi tidak ada
satupun Imam Mujtahid yang menghalalkan orang menikahi anak tiri yang ibunya
sudah disetubuhi, baik anak tersebut dirawat ayah tirinya ataupun tidak. Sebab
penyebutan kata فِي حُجُورِكُمْ merupakan pengakomodasian
budaya jahiliyyah dimana jika ada perceraian maka anak perempuan mereka cenderung mengikuti
ibunya meskipun harus hidup bersama ayah tiri, daripada mengikuti ayahnya tapi
harus hidup bersama ibu tiri, karena biasanya yang kejam adalah ibu tiri bukan
ayah tiri.
Ketiga, ayat tentang perempuan dan laki-laki jalang:
اَلْخَبِيثَاتُ
لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ
وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم
مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ. (النور: 26(
Dalam ayat
ini pula, secara literal Allah menjelaskan bahwa wanita jalang untuk pria
jalang, dan sebaliknya; dan wanita shalihah untuk pria shalih dan sebaliknya.
Tapi dalam syariat tidak diharamkan wanita jalang bersuami pria shalih dan
sebaliknya. Penjelasan ayat di atas hanya sekedar mengakomodir budaya, yakni
orang-orang baik biasanya akan memilih orang-orang baik dan sebaliknya. Selain
itu, masih banyak ayat redaksinya mengakomodir budaya, sehingga secara implisit
mengajarkan agar melestarikan budaya.
Keempat, anjuran untuk menjaga etika daripada melaksanakan perintah yang
tidak wajib. Meskipun ada hadits yang melarang berdiri karena kedatangan Nabi
Saw, namun dalam hadits lain beliau membiarkan Hassan ra berdiri menghormatinya
sesuai tradisi masyarakat Arab. Bahkan di hadits lain beliau memerintahkan para
sahabat untuk berdiri menghormati Mu'adz bin Jabal ra:
عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ قَالَ نَزَلَ أَهْلُ قُرَيْظَةَ عَلَى حُكْمِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى سَعْدٍ فَأَتَاهُ عَلَى حِمَارٍ فَلَمَّا دَنَا قَرِيبًا مِنَ الْمَسْجِدِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلأَنْصَارِ « قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ - أَوْ خَيْرِكُمْ . (رواه مسلم(
Referensi:
a.
Rawai' al-Bayan,
I/292-293 dan 1455.
b.
I'anah
at-Thalibin, III/305.
c.
Pengakomodiran
Tradisi/Budaya Jahiliyah Menjadi Ajaran Islam
Pertama, tradisi puasa Asyura yang biasa dilakukan masyarakat Jahiliyah
diakomodir menjadi kesunnahan dalam Islam.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى أَظْهَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِى إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ. (رواه مسلم(
Kedua, tradisi akikah yang pada masa Jahiliyah diakomodir menjadi
kesunnahan dalam Islam, kecuali kebiasaan mengolesi kepala bayi dengan darah
hewan akikah diganti dengan mengolesinya dengan minyak wangi.
عَن عبد الله بن بُرَيْدَة، عَن أَبِيه قَالَ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّة إِذا ولد لِأَحَدِنَا غُلَام ذبح شَاة ولطخ رَأسه بدمها، فَلَمَّا جَاءَ الله بِالْإِسْلَامِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً ونحلق رَأسه ونلطخه بزعفران. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالْحَاكِم. صَحِيح(
Ketiga, ritual-ritual haji. Seperti thawaf yang sudah menjadi tradisi kaum
Jahiliyyah dalam Islam ditetapkan sebagai salah satu ritual haji, namun dengan
mengganti kebiasaan telanjang di dalamnya dengan pakaian ihram.
Keempat. kebolehan untuk
menerima hadiah makanan dari tradisi kaum Majuzi di hari raya mereka selain
daging sembelihannya.
Referensi:
a.
Syarh
an-Nawawi 'ala Shahih Muslim, VIII/9.
b.
As-Sirah
an-Nabawiyah karya Ibn Ishaq, III/305.
c.
Mushannaf
Ibn Abi Syaibah, XII/249.
b. Pendekatan Terhadap Tradisi/Budaya
Dalam tataran
praktik dakwah Islam di Nusantara, ketika berhadapan dengan berbagai
tradisi/budaya bisa digunakan empat pendekatan (approach), yaitu adaptasi,
netralisasi, minimalisasi, dan amputasi.
Pertama
pendekatan adaptasi, dilakukan untuk menyikapi
tradisi/budaya yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syariat (tidak
haram). Bahkan hal ini merupakan implementasi dari al-akhlaq al-karimah yang
dianjurkan oleh Nabi Saw. Tradisi/budaya yang disikapi dengan pendekatan
adaptasi mencakup tradisi/budaya yang muncul setelah Islam berkembang maupun
sebelumnya. Seperti tradisi bahasa kromo inggil dan kromo alus dalam masyarakat
Jawa untuk sopan santun terhadap orang yang lebih tua.
عن معاذِ بنِ جبلٍ رضي الله عنهما، عن رسولِ الله صلى الله عليه وسلم، قَالَ: اتَّقِ الله حَيْثُمَا كُنْتَ وَأتْبعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، وَقالَ: حديث حسن)
Kedua
pendekatan netralisasi, dilakukan untuk
menyikapi tradisi/budaya yang di dalamnya tercampur antara hal-hal yang
diharamkan yang dapat dihilangkan dan hal-hal yang dibolehkan. Netralisasi
terhadap budaya seperti ini dilakukan dengan menghilangkan keharamannya dan
melestarikan selainnya. Allah berfirman:
فَإِذَا
قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَبَاءَكُمْ أَوْ
أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا
وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ. (البقرة: 200)
Dalam menjelaskan sabab an-nuzul ayat ini Imam Mujahid menyatakan, bahwa
orang-orang Jahiliyah seusai melaksanakan ibadahnya biasa berkumpul dan saling
membangga-banggakan nenek moyang dan nasab mereka yang jelas-jelas dilarang
dalam Islam, kemudian turun ayat tersebut yang tidak melarang perkumpulannya
namun hanya memerintahkan agar isinya diganti dengan zikir kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak menganjurkan penghapusan
tradisi/budaya secara frontal, namun menganjurkan untuk meluruskan hal-hal yang
belum lurus saja.
Ketiga
pendekatan minimalisasi, dilakukan untuk
menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang belum bisa dihilangkan seketika.
Minimalisasi budaya semacam ini dilakukan dengan cara: a) mengurangi
keharamannya sebisa mungkin, yaitu dengan menggantinya dengan keharaman yang
lebih ringan secara bertahap sampai hilang atau minimal berkurang; b)
membiarkannya sekira keharaman tersebut dapat melalaikan pelakunya dari
keharaman lain yang lebih berat.
Keempat
pendekatan amputasi, dilakukan untuk menyikapi
budaya yang mengandung keharaman yang harus dihilangkan. Amputasi terhadap
budaya semacam ini dilakukan secara bertahap, seperti terhadap keyakinan
animisme dan dinamisme. Meskipun dilakukan dengan cara menghilangkan hingga ke
akarnya, pendekatan ini dilakukan secara bertahap. Sebagaimana Nabi Muhammad
Saw dalam menyikapi keyakinan paganisme di masyarakat Arab menghancurkan fisik
berhala-berhala, berikut berhala keyakinan, pemikiran, dan kebudayaannya.
Tradisi tersebut berhasil dihilangkan, namun baru terlaksana secara massif pada
peristiwa pembebasan kota Makkah (Fath Makkah) pada 630 M / 8 H, atau saat
dakwah Islam telah berusia 21 tahun.
عن عبد الله بن
مسعود رضي الله عنه قال :دخل النبي صلى الله عليه و سلم مكة وحول البيت ستون
وثلاثمائة نصب فجعل يطعنها بعود في يده ويقول: جاء الحق وزهق الباطل إن الباطل كان
زهوقا. جاء الحق وما يبدئ الباطل وما يعيد. (رواه البخاري(
Referensi:
a.
Mirqah Shu'ud at-Tasydiq fi Syarh Sulam at-Taufiq, 61.
b.
Majma' az-Zawa'id, VIII/347.
c.
Asbab an-Nuzul karya al-Wahidhi, I/39.
d.
Ihya 'Ulum ad-Din, III/62.
e.
I'lam al-Muwaqqi'in, III/12.
c.
Melestarikan Tradisi/Budaya Yang Menjadi Media Dakwah
Tradisi/Budaya
yang telah menjadi media dakwah dan tidak bertentangan dengan agama, semestinya
dilestarikan. Sebagaimana tradisi kirim doa untuk mayit pada hari ke tujuh,
ke-40, ke-100, dan ke-1000 dari kematiannya, sebab tidak bertentangan dengan
agama dan justru menarik masyarakat berkirim doa bagi orang-orang yang telah
meninggal. Sebab jika tradisi ini dihilangkan, kebiasaan kirim doa juga akan
ikut hilang atau berkurang.
Namun bila di
tempat atau waktu tertentu tidak efektif dan justru kontra produktif bagi
dakwah Islam di Nusantara, maka tradisi tersebut semestinya diubah secara arif
dan bertahap sesuai kepentingan dakwah (dikembalikan pada prinsip mashlahah).
Referensi
a.
Referensi
Metode Dakwah Islam Nusantara.
b.
Nihayah
az-Zain, 281.
a.
Majma' az-Zawa'id,
VIII/347.
b.
Al-Adam
as-Syar'iyyah, II/114.
c.
Ihya 'Ulum
ad-Din, III/62.
4. Sikap
dan Toleransi Terhadap Pluralitas Agama dan Pemahaman Keagamaan
a. Sikap
Terhadap Pluralitas Agama
Pertama,
meyakini bahwa pluralitas agama (perbedaan agama, bukan pluralisme menyakini
kebenaran semua agama) di dunia merupakan sunnatullah. Ini seharusnya yang
menjadi asas dalam amr ma'ruf nahi munkar, sehingga jelas tujuannya untuk
melakukan perintah Allah, bukan untuk benar-benar berhasil menghilangkan semua
kemungkaran dari muka bumi yang justru dalam prosesnya sering melanggar
prinsip-prinsipnya.
... وَلَوْ شَاء اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَلَكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَآ آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ
إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ
تَخْتَلِفُونَ (المائدة: 48(
Kedua,
memperkuat keyakinan atas kebenaran ajaran Islam; tidak mengikuti ajaran agama
lain dan menghindari memaki-maki penganutnya. Allah Swt berfirman:
وَلاَ تَسُبُّواْ
الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ
عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ
فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُون. (الانعام: 108(
Ketiga,
menolak dakwah yang bertentangan dengan Islam dengan cara terbaik dan
bijaksana, serta menunjukkan kebaikan ajaran Islam. Allah Swt berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ
قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ
الْمُسْلِمِينَ. وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي
هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ
حَمِيمٌ. (فصلت:
33-34(
Keempat, amr
ma'ruf nahi munkar dengan arif dan bijaksana. Allah Swt berfirman:
ادْعُ إِلِى
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي
هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. (النحل : 125) .أَتَأْمُرُونَ
النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ
أَفَلَا تَعْقِلُونَ (البقرة: 44(
Referensi:
Mafatih al-Ghaib, XIII/114-116, III/44 dan 193, VIII/145, XX/112-114.
Mafatih al-Ghaib, XIII/114-116, III/44 dan 193, VIII/145, XX/112-114.
b.
Toleransi Terhadap Agama Lain
Toleransi
terhadap agama lain yang berkembang di masyarakat merupakan keniscayaan, demi
terbangunnya kerukunan antarumat beragama di tengah pluralitas. Bahkan Islam
mengajarkan agar berpekerti baik terhadap semua manusia tanpa memilih-milih,
terhadap orang yang seagama maupun tidak, dan terhadap orang shalih maupun
sebaliknya. Al-Hakim at-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul (III/97) mengatakan:
وقال صلى الله
عليه وسلم: أوحى
الله إلى إبراهيم عليه السلام يا إبراهيم حسن خلقك ولو مع الكفار تدخل مداخل
الأبرار فإن كلمتي سبقت لمن حسن خلقه أن أظله في عرشي وأن أسكنه في حظيرة قدسي وأن
أدنيه من جواري. وحسن الخلق على ثلاث منازل: أولها أن يحسن خلقه مع أمره ونهيه، الثانية
أن يحسن خلقه مع جميع خلقه، الثالثة أن يحسن خلقه مع تدبير ربه فلا يشاء إلا ما
يشاء له ربه.
Dalam rangka mendakwahkan agama Islam sebagai rahmat bagi semesta alam,
toleransi dapat dipraktikkan dengan menjalin mu'amalah zhahirah yang baik antarumat
beragama, memberi jaminan keselamatan jiwa dan harta, serta tidak mengganggu
pengamalan keyakinan lain selama tidak didemonstrasikan secara provokatif di
kawasan yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam.
Namun
demikian, penerapan toleransi kaum muslimin terhadap agama lain perlu
memperhatikan batas-batasnya sebagaimana berikut:
a.
Tidak
melampaui batas akidah sehingga terjerumus dalam kekufuran, seperti rela dengan
kekufuran, ikut meramaikan hari raya agama lain dengan tujuan ikut mensyiarkan
kekufuran, dan semisalnya, kecuali dalam kondisi darurat.
b.
Tidak
melampaui batas syariat sehingga terjerumus dalam keharaman, seperti ikut
datang ke tempat ibadah agama lain saat perayaan hari rayanya, mengundang
pemeluk agama lain untuk menghadiri perayaan hari raya umat Islam, mengucapkan
selamat hari raya kepada mereka dan semisalnya, kecuali dalam kondisi darurat.
Referensi:
a.
Faidh
al-Qadir, III/71.
b.
Mafatih
al-Ghaib, VIII/10-11.
c.
Hasyiyyah
al-Bujairami, V/183.
d.
Qurrah
al-'Ain bi Fatawa Isma'il az-Zain, 199.
e.
Qurrah
al-'Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209.
f.
Asna
al-Mathalib, III/167.
g.
Al-Hawi
al-Kabir, XIV/330.
h.
Qurrah
al-'Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209.
i.
Al-Fatawa
al-Fiqhiyyah al-Kubra, IV/239.
j.
Al-Adab as-Syar'iyyah,
IV/122.
k.
Bughyah
al-Mustarsyidin, I/528.
l.
Al-Mausu'ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, XII/8.
c.
Toleransi Terhadap Pemahaman Keagamaan Selain Ahlusssunnah wal Jama'ah
Selain
pluralitas agama, di Nusantara terdapat bermacam pemahaman keagamaan (akidah)
dalam lingkungan Umat Islam, sehingga diperlukan toleransi terhadap kelompok
umat Islam yang dalam masalah furu'iyyah maupun ushuliyyah berbeda pemahaman
dengan Ahlussunnah wal Jama'ah. Secara prinsip toleransi dalam konteks ini
tetap mengedepankan semangat Islam sebagai agama yang merahmati semesta alam
dan al-akhlaq al-karimah, seperti halnya dalam toleransi antarumat beragama.
Begitu pula dalam tataran praktiknya, batas-batas toleransi terhadap kelompok
umat Islam yang tidak berpaham Ahlussunnah wal Jama'ah sama dengan batas-batas
dalam toleransi antarumat beragama, yaitu tidak boleh melampaui batas akidah
dan syariat.
Toleransi
dalam konteks ini tidak menafikan semangat dakwah untuk menunjukkan kebenaran
(al-haqq) dan menghadapi berbagai syubhat (propaganda) yang mereka sebarkan,
terlebih yang bersifat provokatif, mengancam kesatuan Umat Islam, integritas
bangsa secara lebih luas.
عن معاوية بن حيدة
قال : خطبهم رسول
الله صلى الله عليه و سلم فقال : حتى متى ترعون عن ذكر الفاجر هتكوه حتى يحذره
الناس. (رواه الطبراني في الثلاثة وإسناد الأوسط والصغير حسن رجاله موثقون واختلف
في بعضهم اختلافا لا يضر(
Selain itu,
dalam menyikapi umat Islam yang tidak berpaham Ahlussunnah wal Jama'ah perlu
diperhatikan beberapa hal berikut:
a.
Dalam
melakukan amr ma'ruf nahi munkar kepada mereka tidak boleh sampai menimbulkan
fitnah yang lebih besar, terlebih di daerah yang jumlah mereka seimbang dengan
jumlah umat Islam Sunni. Dalam kondisi seperti ini amr ma'ruf nahi munkar wajib
dikoordinasikan dengan pemerintah.
b.
Tidak menganggap
kufur mereka selama tidak terang-terangan menampakkan hal-hal yang telah
disepakati (ijma') atas kekufurannya, yaitu menafikan eksistensi Allah,
melakukan syirk jali yang tidak mungkin dita'wil, mengingkari kenabian,
mengingkari ajaran Islam yang bersifat mutawatir atau yang didasari ijma' yang
diketahui secara luas (ma'lum min ad-din bi ad-dharurah).
c.
Meskipun
salah dalam sebagian aqidahnya, selama tidak sampai kufur mereka masih mungkin
diampuni Allah Swt.
d.
Dalam
ranah individu, penganut paham Ahlussunnah wal Jamaah tidak boleh beranggapan
pasti masuk surga karena amalnya, sedangkan yang lain pasti masuk neraka.
Sebab, sekecil apapun setiap individu mempunyai dosa dan jika tidak diampuni
bisa saja kelak masuk neraka.
وَإِذَا سَمِعُوا
اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
سَلامٌ عَلَيْكُمْ لا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ. إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. (القصص:
55-56 .( وَلِلّهِ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن
يَشَاء وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ. (ال عمران: 129 .(عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « لَنْ يُنْجِىَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ ».
قَالَ رَجُلٌ وَلاَ إِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ إِيَّاىَ إِلاَّ
أَنْ يَتَغَمَّدَنِىَ اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ وَلَكِنْ سَدِّدُوا ». (رواه مسلم(
Referensi:
a.
Hasyiyyah
al-Bujairami, V/183.
b.
Al-jami'
as-Shaghir, I/85.
c.
Majma'
az-Zawa'id, I/375.
d.
Al-Milal
wa an-Nihal, II/321-322.
e.
Mafahim
Yajib an-Tushahhah, 18-19.
5.
Konsistensi Menjaga Persatuan untuk Memperkokoh Integritas Bangsa
NKRI dan
Pancasila selain telah terbukti mampu menjadi perekat bangsa sejak kemerdekaan
hingga sekarang, juga mampu menjadi wadah dakwah Islam Nusantara secara luas.
Pertumbuhan muslim di kawasan-kawasan mayoritas non muslim juga semakin
meningkat. Namun demikian, di tengah perjalanan sejarah tantangan disintegrasi
bangsa terkadang bermunculan, bahkan wacana mendirikan negara di dalam negara
terus mengemuka. Sebab itu, internalisasi nilai-nilai kebangsaan, khususnya
terkait NKRI dan Pancasila sebagai upaya final dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara merupakan keharusan. Berkenaan dengan itu perlu disadari, bahwa penerimaan
Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara telah sesuai
dengan spirit piagam Madinah yang digagas oleh Rasulullah Saw, yang berhasil
menyatukan masyarakat yang plural dalam satu kesatuan negeri Madinah.
Sebagaimana
diriwayatkan Ibn Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyah (II/126-129) karya Ibn
Hisyam, Piagam Madinah di antaranya menyatakan:
بِسْمِ اللهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ. هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ مِنْ قُرَيْشٍ وَيَثْرِبَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ، إِنَّهُمْ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُونِ النّاسِ ... وَإِنّهُ مَنْ تَبِعَنَا مِنْ يَهُودَ فَإِنّ لَهُ النّصْرَ وَالْأُسْوَةَ غَيْرَ مَظْلُومِينَ وَلَا مُتَنَاصَرِينَ عَلَيْهِمْ ... وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ. لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ وَلِلْمُسْلِمَيْنِ دِينُهُمْ وَمَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ إلّا مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ فَإِنّهُ لَا يُوتِغُ إلّا نَفْسَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ ... وَإِنَّ عَلَى الْيَهُودِ نَفَقَتَهُمْ وَعَلَى الْمُسْلِمِينَ نَفَقَتَهُمْ وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْرَ عَلَى مَنْ حَارَبَ أَهْلَ هَذِهِ الصَّحِيفَةِ. وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْحَ وَالنَّصِيحَةَ وَالْبِرَّ دُونَ الْإِثْمِ، وَإِنّهُ لَمْ يَأْثَمْ امْرِئِ بِحَلِيفِهِ، وَإِنّ النّصْرَ لِلْمَظْلُومِ، وَإِنَّ الْيَهُودَ يُنْفِقُونَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ مَا دَامُوا مُحَارِبِينَ، وَإِنّ يَثْرِبَ حَرَامٌ جَوْفُهَا لِأَهْلِ هَذِهِ الصّحِيفَةِ ... وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النّصْرَ عَلَى مَنْ دَهَمَ يَثْرِبَ، وَإِذَا دُعُوا إلَى صُلْحٍ يُصَالِحُونَهُ ...
Dari Piagam
Madinah dapat diambil spirit, bahwa Nabi Muhammad Saw menyatukan warga yang
multi etnis dan multi agama menjadi ummah wahidah (satu kesatuan bangsa). Semua
warga punya kedudukan yang sederajat, sama-sama berhak mendapatkan jaminan
keamanan, melakukan aktifitas ekonomi, mengaktualisasikan agama, sama-sama
berkewajiban untuk saling memberi nasehat dan berbuat kebaikan, menjaga
keamanan serta integritas Madinah sebagai satu kesatuan negeri menghadapi
ancaman dari luar.
Selain itu,
untuk memupuk persatuan di tengah masyarakat yang plural perlu ditanamkan sikap
menghargai perbedaan dan menjaga hak antarsesama, di antaranya dengan:
a.
Menghargai
ajaran agama lain.
b.
Melestarikan
budaya dari suku dan agama apa pun selama tidak bertentangan dengan syariat.
c.
Mengapresiasi
kebaikan/kelebihan orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri.
d.
Menghindari
caci-maki terhadap orang lain karena alasan perbedaan.
e.
Menghindari
anggapan menjadi orang yang paling baik dan menganggap orang lain tidak baik,
sehingga mengabaikan kewajiban berbuat baik.
f.
Membiasakan
berbuat kebajikan terhadap siapapun.
g.
Memprioritaskan
penanaman nilai-nilai agama secara utuh dan mendalam di lingkungan internal
Ahlussunah wal Jamaah.
وَلاَ تَسُبُّواْ
الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ
عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم
مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ (سورةا لانعام اية 108( . لِلّهِ مَا
فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ال عمران: 129( . عن ابن عمر
أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم تحته عشر نسوة فقال له النبي صلى الله عليه و سلم:
اختر منهن أربعا ... (رواه ابن حبان. صحيح( , حدّثنا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ . حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنِ ابْنِ الْهَادِ عَنْ سَعْدٍ بْنِ
إِبْرَاهِيمَ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللّهِ قَالَ: «مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ
الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ
وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: «نَعَمْ. يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ .
وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ». (رواه ابن حبان. مسلم( . لِلّهِ مَا
فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن
يَشَاء وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ال عمران: 129(
Referensi:
a.
Al-Hawi
al-Kabir, XIV/330.
b.
Risalah
al-Qusyairiyah, I/103.
c.
Ihya 'Ulum
ad-Din, II/212.
d.
Al-Majalis
as-Saniyyah, 87.
Keputusan Bahtsul Masail Maudhu'iyah PWNU Jawa Timur Tentang Islam Nusantara di Universitas Negeri Malang 13 Februari 2016
Post a Comment