Manajemen Ramadlan 6. Niat, Rukun dan Syarat-Syarat Puasa
Oleh : Ust. Munawir (Ketua LBMNU Propinsi Lampung)
Niat
Didalam niat ada tiga
hal yang harus di perhatikan, yaitu:
1. Al-tabyiit, yaitu berniat di malam hari
mulai terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar, kecuali puasa sunat.
عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى
الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ
فَلاَ صِيَامَ لَهُ (الدارقطنى,
اسم الكتاب : جامع الأحاديث المؤلف : جلال الدين السيوطي )
Dari ‘Aisah
ra, dari Nab SAW bersabda: Barang siapa niat puasa tidak pada malam hari
sebelum terbitnya fajar, maka puasanya tidak dianggap.(HR. Daruqutni)
Menurut
Imam Abu hanifah, niat puasa ada dua, yaitu niat puasa yang di saratkan tabyiit
dan ta’yin, dan niat puasa yang tidak di saratkan tabyiit dan ta’yin. Niat
puasa yang di saratkan tabyiit dan ta’yin seperti qoda’ puasa ramadhan, qoda’
puasa sunat yang batal, puasa kafarat dan puasa nadzar. Sedangkan niat puasa
yang tidak disaratkan tabyiit dan ta’yin adalah puasa yang berhubungan dengan
waktu tertentu, seperti puasa ramadhan, puasa nadzar yang tertentu waktunya dan
puasa sunah, maka di perbolehkan niat dari malam hari sampai tengah hari.
Menurut
Imam malik bin Annas, niat puasa (baik fardu maupun sunah) harus di lakukan
pada malam hari (wajib tabyiit), yaitu mulai terbenamnya matahari sampai
terbitnya fajar.
Menurut
Imam Ahmad bin hambal, niat puasa hukumnya sama dengan pendapatnya Imam
Syafi’I, yaitu harus dilakukan pada malam hari, mulai terbenamnya matahari
sampai terbitnya fajar, sedangkan puasa suanah boleh di lakukan setelah
terbitnya fajar.
(Mughni
Muhtaj, juz 1, halaman 423, kasaful Qoana’, juz 2, halaman 366, Al bada’I, juz
2, halaman 85, Syarhus Shohir, juz 1, halaman 695)
2. Al-ta’yiin, yaitu menjelaskan jenisnya
puasa dalam niat, baik puasa wajib atau sunnah (semisal melafadkan ramadhan,
nadzar, kifarat), tetapi tidak di saratkan menyebutkan kata ada’ atau qada’ dan
lillahi ta’ala, karena puasa merupakan jenis ibadah yang tergantung dengan
waktu seperti sholat.
Menurut Qoul Mu’tamad dari Madzhab
Syafi’iyah tidak di saratkan dalam niat menyebutkan fardu, karena puasa yang di
lakukan oleh orang balig adalah fardu.
Menurut Imam Abu Hanifah tidak di saratkan
adanya ta’yin dalam niyat.
Dan didalam melafadlkan niat puasa tidak harus
dengan lisan, tetapi yang diwajibkan adalah dengan hati. Sedangkan lafadnya
niat yang sempurna adalah sebagai berikut :
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرْ رَمَضَانِ هَذِهِ سَنَةِ لِلهِ تَعَالَى
“Saya
berniat puasa pada hari besok kerena mengerjakan ibadah fardu bulan ramadhan
pada tahun ini karena Allah SWT”.
(Mughni
muhtaj, juz 1, halaman 425, Al Fiqhul Islam wa Adilatuhu, juz 3, halaman 55)
3. Al-tikror, yaitu niat harus berulang
setiap malamnya, karena puasa pada setiap harinya terbatasi dengan waktu dan
tidak berhubungan dengan hari setelahnya, dengan bukti jika ada puasa yang
batal dalam satu hari maka tidak berpengaruh pada puasa yang lain.
Menurut Imam Malik bin Annas, niat
tidak di saratkan setiap malam, tetapi cukup niat sekali pada malam pertama di
bulan Ramadhan. Alasan dari pendapatnya Imam Malik bin annas adalah firmanya
Allah QS Al Baqarah ayat 185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (البقرة:185/2)
Barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan itu.
Kata
الشَّهْرَ merupakan
isim zaman tunggal, maka puasa dari awal bulan samapai akhir bulan merupakan
ibadah yang tunggal seperti sholat dan hajji.
Dalam hal
kaitanya dengan niat, maka pahala puasa seseorang di raih (didapat) setelah
niat.
(Bidayatul
Mujtahid, juz 1 halaman 282, Sarhul Kabir, Juz 1, halaman 520)
Rukun puasa
Rukun Puasa ada tiga
yaitu,
·
orang
yang berpuasa,
·
niat
·
menahan
diri dari sesuatu yang membatalkan puasa.
Menurut Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal rukun puasa ada satu yaitu menahan diri dari
sesuatu yang membatalkan puasa, sedangkan niat dan orang yang berpuasa merupkan
syarat. Sedang menurut Imam Malik bin
Annas rukun puasa ada dua, yaitu niat dan menahan diri dari sesuatu yang
membatalkan puasa. (Madzahibul Arba’ah, Juz 1, halaman 185)
Syarat-Syarat
Puasa
Sarat puasa terbagi menjadi dua, yaitu syarat
wajib dan syarat syah.
1.
Syarat Wajib
Sarat wajib ada empat, yaitu baligh, Islam,
berakal dan mampu.
a.
Baligh
Bagi anak kecil tidak di wajibkan berpuasa,
tetapi orang tua wajib memerintahkan anaknya yang sudah berumur tujuh tahun
jika anak tersebut mampu berpuasa, dan jika anak sudah berumur sepuluh tahun
maka orang tua di perbolehkan memukulnya apabila anak tersebut meninggalkan
puasa.
b.
Islam
Puasa tidak wajib bagi non muslim, tetapi
tetap wajib bagi orang murtad.
c.
Berakal
Orang yang tidak berakal (gila) tidak wajib
puasa dan juga tidak wajib mengqoda’ puasa, sedangkan orang yang mabuk karena
di sengaja puasanya tidak sah dan wajib mengqodo’ puasa.
d.
Mampu
Orang yang dalam perjalanan atau orang yang
sakit tidak wajib puasa, tapi wajib mengqodo’ puasa. Orang tua yang sudah tidak
mampu menjalankan puasa atau orang yang sakit yang tidak bisa di harapkan kesembuhanya
(menurut dokter) tidak di wajibkan puasa, tetapi wajib membayar fidyah setiap
hari satu mud. Perempuan hamil atau menyusui yang tidak mampu puasa boleh untuk
tidak puasa dan wajib membayar fidyah.
(Fiqh ‘Ala Madzahibulm Arba’ah, juz 1 halaman
867)
2.
Syarat Sah
Sarat sah puasa ada empat, yaitu Islam,
Tamyiz, suci (dari haid, nifas dan
wiladah / melahirkan), dan sarat sah yang terahir adalaha pada hari yang di
perbolehkan puasa.
a.
Islam
Orang kafir dan murtad puasanya tidak sah.
b.
Tamyiz
Anak kecil (belum tamyiz), orang gila, orang
mabuk (hilang ingatanya), ayan (epilepsi) puasanya tidak sah.
c.
Suci
Perempuan yang sedang haid, nifas, wiladah
(melahirkan) apabila berpuasa maka puasanya tidak sah, dan jika seorang
perempuan pada siang hari mulai keluar darah haid, maka puasa yang ia lakukan
batal.
d.
Hari diperbolehkan puasa
Hari yang tidak di perbolehkan puasa adalah
hari raya ‘Idul Fitri dan Adha, hari tasyrik, hari yang di ragukan (yaumus
sak), seperti tanggal 30 Sya’ban dan tanggal 30 Ramadhan yang di ragukan sudah
tanggal satu, dan setelah tanggal 15 sya’ban jika tidak mempuanyai kebiasaan
puasa pada hari sebelumnya.
(Fathal Wahab, Juz 1, halaman 206)
Menurut Imam Abu Hanifah sarat puasa terbagi
tiga, yaitu sarat wajib, sarat wajib dan ada’, sarat sah. Sarat wajib ada tiga,
yaitu Islam, berakal, balig. Sarat wajib
dan ada’ ada dua, yaitu yang pertama sehat dan mukim (tidak dalam perjalanan),
yang kedua suci dan niyat.
Menurut Imam Malik bin Annas sarat puasa
terbagi tiga, yaitu sarat wajib, sarat
sah dan sarat wajib dan sah. Sarat wajib ada dua, yaitu balig dan mampu
berpuasa. Sarat sah ada tiga, yaitu Islam, pada hari yang di perbolehkan untuk
puasa dan niat. Sarat wajib dan sah ada tiga, yaitu berakal, suci, masuk bulan
Ramadhan.
Menurut
Imam Ahmad bin Hambal sarat puasa terbag tiga, yaitu sarat wajib, sarat sah dan
sarat wajib dan sah. Sarat wajib ada tiga, yaitu Islam, baligh dan mampu
berpuasa. Sarat sah ada tiga, yaitu niat, suci dari haid dan suci dari nifas.
Sarat wajib dan sah ada tiga, yaitu Islam, berakal dan tamyiz. (Al fiqhul Islam
wa Adilatuhu, Juz 3, halaman 44)
Post a Comment